Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cersil (4): Sang Pemburu

22 Januari 2023   08:26 Diperbarui: 24 Januari 2023   11:40 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: deviantart.com

Kadang Cinta bergerak sendiri semaunya, tanpa nahkoda atau petunjuk arah mata angin

Padepokan Siur Bertuah

Maha Guru Ayah sibuk memilah buku-buku tua yang berderet rapi di dalam lemari kayu. Sesekali tangannya gemetar berusaha menyembunyikan perasaan cemas.

Ya, ia cemas. Mencemaskan racun Kalamenjing yang ganas itu---yang saat ini tengah bercokol di pundak kiri Nyai Fatimah.

"Jika obat penawar tidak segera kutemukan, ia bisa mati." Maha Guru Ayah bergumam sendiri. Dilemparkannya beberapa buku bersampul lusuh ke atas meja.

"Guru, Nyai Fatimah mengalami demam tinggi. Ia menggigil dan mulai kehilangan kesadaran." Suara lirih Ni Ayu membuatnya menoleh. Tapi hanya sesaat. Mata tua itu beralih kembali ke arah deretan buku-buku yang tersisa.

"Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai jiwa Nyai Fatimah tidak tertolong!" Maha Guru Ayah tidak lagi bergumam pelan, melainkan berteriak kencang meluapkan amarahnya.

"Hiyaaaaaaaa.....!!!"

***

Di bawah temaram lampu templok Ni Ayu mengompres kening Nyai Fatimah dengan kain basah. Sesekali jemarinya menyentuh kain basah itu dan mencelupkannya kembali ke dalam air sekiranya kain dirasa mulai hangat dan mengering.

Sementara Busu alias Pendekar Kulkas Dua Pintu, berdiri mengawasi tak jauh dari sisi ranjang. Pandangannya sayu tertuju pada tubuh Nyai Fatimah yang terbujur diam. Yang sepintas lalu bagai orang sedang tidur.

Dalam hati Busu sama cemasnya dengan Maha Guru Ayah dan Ni Ayu. Ia tahu bagaimana dahsyatnya racun Kalamenjing jika sudah merasuk ke dalam tubuh seseorang. Racun itu akan membuat saraf-saraf menjadi lumpuh.

"Ni! Jaga Nyai Fatimah baik-baik!" Ditepuknya pundak Ni Ayu perlahan sebelum tubuhnya melesat meninggalkan padepokan. Malam itu ia nekat menembus kegelapan malam. 

Ya. Sang pendekar yang pendiam itu ingin mencari pertolongan dengan caranya sendiri.

***
Segala kehidupan berawal dari timur

Hutan Garangan

Malam tergelincir semakin jauh. Busu telah melintasi perbatasan sisi timur Hutan Garangan.

Di sebuah tanjakan langkahnya terhenti. Matanya tajam menyapu sekeliling. Otaknya fokus pada satu titik. Yakni gubuk tua yang ditinggali seseorang yang ingin ditemuinya.

Sesaat ia menghela napas lega. Ia merasakan kakinya yang tak beralas sudah menginjak tanah berpasir hitam yang lembap dan dingin. Tanah yang beberapa tahun silam pernah akrab menemaninya berlatih ilmu kanuragan.

Ah, ya, ia hampir sampai!
Hatinya sontak bersorak riang.

Sekali lenting tubuhnya kembali melesat. Menyusup di antara rerimbun semak dan pepohonan  

Hup!

Sebentar kemudian ia sudah menemukan apa yang dicari.

***

Jika satu kebaikan datang mengetuk pintu, maka biarkan kebaikan-kebaikan lain melompat melewati jendela.

"Masuklah!" Suara serak dari dalam gubuk membuatnya gegas mendorong daun pintu yang terbuat dari anyaman bambu. Ia sontak membungkukkan badan begitu melihat seseorang---lelaki tua berambut panjang dan berpakaian compang-camping, berdiri di dekat tungku perapian, membelakanginya.

"Salam, Pendekar Tanpa Bayangan. Aku datang untuk..."

"Ya, aku tahu! Aku tahu cacing-cacing di perutmu sudah tidak sabar lagi ingin menyantap daging panggang gurih ini! Bhuahahaha....!!!"

***

Kenyang menikmati daging panggang buatan tuan rumah, Busu mengambil posisi duduk bersila di atas amben tak jauh dari lelaki berpenampilan nyentrik itu. Ia ingin segera menyampaikan maksud kedatangannya.

"Tuan Pendekar..."

"Eits! Jangan tergesa-gesa anak muda. Kita belum bersenang-senang, bukan?. Bagaimana kalau kita minum tuak?"

"Maaf, Pendekar. Kali ini saya tidak bisa menemani minum tuak. Saya harus segera menyelamatkan nyawa seseorang."

"Tidak Busu! Kau harus menemani aku malam ini! Kita minum tuak sepuasnya sampai maboook! Bhuahahaha...!!!"

Pendekar Tanpa Bayangan melompat dari duduk bersilanya. Tangannya sigap meraih kendi di atas rak lalu menuang isinya ke dalam dua cawan berukuran sedang.

"Ayo minum!" Dijentiknya satu cawan menggunakan ujung jari. Rrrrrrr! Cawan itu berputar-putar di udara sebelum melesat menuju ke arah Busu.

"Hup!"

Terpaksa Busu meraih cawan itu karena tidak ingin isinya tumpah.

"Minuuum...ayooo minuuuuum!"

Glek, glek, glek.

Pendekar Tanpa Bayangan menenggak minuman yang terbuat dari fermentasi pohon nira itu hingga tandas. Merasa masih belum puas, ia menuang satu cawan lagi.

Sementara Busu tidak setetes pun meneguk isi cawan di tangannya. Pikirannya masih tertuju pada satu orang.

Nyai Fatimah.

***

Pikiran itu bagai langit. Tidak bisa diukur sejauh mana ketinggiannya. Dan hati itu ibarat laut. Tidak bisa diduga sejauh apa kedalamannya.

Gubraak!!!

Pendekar Tanpa Bayangan ambruk di atas lantai. Ia mabuk berat. Tubuhnya nglimpruk bak karung goni tanpa isi.

Busu menghela napas panjang. Dalam kondisi teler begini mana mungkin sang pendekar---yang memiliki nama kecil Supol itu bisa membantunya membuatkan ramuan penawar racun?

Busu menyesal. Seharusnya ia tidak membiarkan sang pendekar meneguk minuman begitu banyak. 

Tapi mana ia berani? Pendekar Tanpa Bayangan adalah mantan gurunya. Dan, ia tahu betul bagaimana polah sang guru jika kehendaknya dihalangi. Ia tidak akan segan mengajak bertarung!

Cawan yang sedari tadi hanya ditangkupnya disorongkan jauh ke tengah amben. Wajahnya murung. Haruskah ia kembali ke padepokan Siur Bertuah dengan tangan hampa?

Tapi tunggu dulu! Matanya kembali tertuju pada cawan di tengah amben yang tiba-tiba bergetar dan mengeluarkan aroma aneh. Gegas ia raih kembali cawan itu. Bibirnya perlahan menyungging senyum.

"Ini bukan tuak! Ini penawar racun yang kucari!"

Sontak kakinya bergerak cepat menuju rak kayu di sudut gubuk. Diambilnya sebuah botol kecil, dituangkannya isi cawan ke dalam botol kecil itu secara hati-hati.

Sesudahnya ia berbalik badan, memberi hormat kepada lelaki tua yang masih tengkurap tak bergerak itu.

Saat melesat pergi meninggalkan gubuk, ia sempatkan berseru lantang.

"Terima kasih Tuaaaan Pendekaaar...!!! Aku tidak akan melupakan kebaikanmu hari ini!"

Bersambung....

***
Malang, 22 Januari 2023
Lilik Fatimah Azzahra

Cersil sebelumnya:

1. Geger Lubang Sumur

2. Kemilau Pedang Cinta 

3. Prahara Padang Bulan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun