Sore yang cerah. Maha Guru Ayah---pemilik sekaligus pemimpin Padepokan Siur Bertuah, berdiri tegak mengawasi dua perempuan yang tengah berlatih ketangkasan ilmu pedang. Sesekali ia berseru memberi petunjuk atau pengarahan.
"Nyai Fatimah! Turunkan sedikit tanganmu! Terlalu tinggi genggamanmu membuat pedangmu terasa berat. Yak, betul begitu!"
"Ni Ayu! Ayo, fokus! Â Jangan memikirkan hal lain di luar latihan!"
Tring! Tring!
Ujung pedang beradu semakin sengit. Dua pendekar perempuan tampak mulai bermandi peluh.Â
Maha Guru Ayah tersenyum menyaksikan dua perempuan berbeda usia itu berlatih cukup keras dan serius. Diam-diam ia mengagumi kelebihan mereka masing-masing.
Nyai Fatimah. Meski usianya sudah tidak muda lagi, gerakannya tetap terlihat lincah. Staminanya terjaga dengan baik. Beberapa ilmu kanuragan telah dikuasainya dengan sempurna. Di kancah dunia persilatan pendekar berjuluk Mawar Hitam ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Ni Ayu. Usia muda membuatnya mudah menyerap ilmu. Meski terkadang emosinya belum stabil, masih naik turun seperti jalan setapak di lereng gunung. Tapi jangan salah! Ia sudah menguasai beberapa jurus ilmu silat yang pantang disepelekan.
Tring! Tring! Tring!
"Cukup! Latihan hari ini cukup sampai di sini. Sekarang kalian boleh istirahat." Maha Guru Ayah memberi perintah. Kedua pendekar perempuan sontak menghentikan tarian pedang, saling beradu tatap sejenak, lalu secara bersamaan mengangguk hormat.
"Siap guru!"