"Tidak, bukan begitu. Eh, aduh, bagaimana ini. Air yang kujerang pasti sudah mendidih!" Nyai Fatimah buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana air akan mendidih kalau kaulupa menyalakan apinya, Nyai?" Senyum Maha Guru Ayah kian melebar.
Nyai Fatimah tertegun.Â
Kalimat itu, ah, mengapa ia masih mengingatnya sampai sekarang?Â
"Maafkan aku." Nyai Fatimah takbisa lagi menyembunyikan rasa bersalahnya.
"Maaf untuk apa? Untuk penolakan cinta di masa lalu? Dengar, Fatimah. Aku sudah ikhlas menerima takdirku."
"Tidak, Firdaus. Kau belum sepenuhnya ikhlas. Buktinya kau masih menyelamatkan aku. Mengapa tidak kaubiarkan saja aku mati?"
Mendengar kata-kata Nyai Fatimah, Maha Guru Ayah sontak merangsek maju. Diraihnya tangan perempuan itu lalu digenggamnya erat-erat.
"Guru! Eh, maaf...aku kira Guru sendirian." Seseorang tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur, membuat wajah Nyai Fatimah dan Maha Guru Ayah bersemu merah.
Artati.Â
Murid senior berjuluk Pendekar Tepi Sungai Mahakam itu sontak berbalik badan. Hatinya merasa perih menyaksikan adegan tak terduga itu.