Seberat apa pun rindu, meletakkannya engkau tiada akan mampu
Hutan Garangan
Ni Ayu membetulkan posisi tubuh Nyai Fatimah, menyelonjorkannya di atas rerumputan dengan hati-hati.
Meski tidak yakin akan kemampuannya, Ni Ayu tetap ingin mencoba menyelamatkan perempuan paruh baya itu. Sebisanya!
Tapi, apa yang harus ia lakukan?
Cemas bercampur bingung Ni Ayu kembali mengamati tubuh yang tergolek tak berdaya itu. Dan, ia terkejut bukan main. Wajah pasi Nyai Fatimah telah berubah menjadi biru keunguan.
Kiranya bumerang milik Pendekar Tua Aneh itu mengandung racun mematikan.
"Nyai, bertahanlah!" Ni Ayu berseru gugup. Apalagi saat mengetahui denyut nadi Nyai Fatimah kian melemah. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang lagi, ia harus segera melakukan sesuatu. Ya, sesuatu yang bisa membuat Nyai Fatimah sadar kembali.
Gegas ia mengambil posisi duduk bersila. Diletakkannya kedua tangan tepat di atas dada Nyai Fatimah. Matanya terpejam. Pikirannya terpusat pada satu titik.
Selanjutnya ia menghidu udara kuat-kuat. Lalu mengembuskan udara itu secara perlahan-lahan. Ia lakukan gerakan itu berulang-ulang sampai ia merasakan ada energi panas menjalari aliran darahnya.
Selang beberapa menit ia himpun energi panas itu di kedua telapak tangan. Bulir-bulir keringat mulai bercucuran membasahi kening. Ia tak peduli. Ia hanya peduli pada satu hal, yakni menyelamatkan nyawa Nyai Fatimah!
"Huuuft...hiyaaaa! Huuufttt....hiyaaaa....!!! Huuuft, arrgggh...."
Pada tiga kali penyaluran tenaga dalam, Ni Ayu merasakan hentakan kuat mengenai dadanya. Hentakan itu membuatnya terpental beberapa depa ke belakang.
Braakkkk!!!
Tubuhnya terbanting keras tanpa ampun. Napasnya tersengal. Dadanya terasa nyeri. Ia merintih sebentar. Sesudahnya, semua menjadi gelap.Â
***
Malam erat memeluk kabut. Angin berembus menguarkan aroma wangi penuh misteri. Aduhai, jari. Tidakkah sesekali ingin menuding dada sendiri?
Masih di Hutan Garangan
Sepasang mata berkilau mengawasi dari balik rimbun pepohonan. Siur angin tak mampu mengubah arah tatapan tajam penuh gairah itu.
"Sabar, Empus. Jangan terburu melompat ke sana." Bisik seorang laki-laki berikat kepala putih yang tiba-tiba saja muncul di samping pemilik mata berkilau itu.
"Grrrrrrr..."
"Hush, kecilkan aumanmu, Empus!"
Sejenak suasana hening. Hutan Garangan kembali mamring.
"Yak! Sekarang!" Laki-laki berikat kepala putih itu memberi aba-aba dengan menepuk lembut punggung hewan kesayangannya. Sekali hentak keduanya melesat menuju sasaran.
Hup!
Laki-laki berikat kepala putih berdiri tegak tidak jauh dari tubuh Nyai Fatimah terbujur. Ia menajamkan penglihatan sejenak, lalu berjongkok, menyentuh pergelangan tangan perempuan itu.
"Denyut nadinya masih ada. Coba kuperiksa perempuan yang satu lagi. Mudah-mudahan kondisinya tidak separah perempuan ini."
Laki-laki berikat kepala putih berdiri, lalu berjalan mendekati tubuh Ni Ayu.
"Betul dugaanku, Empus! Perempuan muda ini hanya kelelahan. Sekarang mari kita bawa mereka ke padepokan!"
***
Padepokan Siur Bertuah
Tring!
Sore yang cerah. Maha Guru Ayah---pemilik sekaligus pemimpin Padepokan Siur Bertuah, berdiri tegak mengawasi dua perempuan yang tengah berlatih ketangkasan ilmu pedang. Sesekali ia berseru memberi petunjuk atau pengarahan.
"Nyai Fatimah! Turunkan sedikit tanganmu! Terlalu tinggi genggamanmu membuat pedangmu terasa berat. Yak, betul begitu!"
"Ni Ayu! Ayo, fokus! Â Jangan memikirkan hal lain di luar latihan!"
Tring! Tring!
Ujung pedang beradu semakin sengit. Dua pendekar perempuan tampak mulai bermandi peluh.Â
Maha Guru Ayah tersenyum menyaksikan dua perempuan berbeda usia itu berlatih cukup keras dan serius. Diam-diam ia mengagumi kelebihan mereka masing-masing.
Nyai Fatimah. Meski usianya sudah tidak muda lagi, gerakannya tetap terlihat lincah. Staminanya terjaga dengan baik. Beberapa ilmu kanuragan telah dikuasainya dengan sempurna. Di kancah dunia persilatan pendekar berjuluk Mawar Hitam ini tidak bisa dipandang sebelah mata.
Ni Ayu. Usia muda membuatnya mudah menyerap ilmu. Meski terkadang emosinya belum stabil, masih naik turun seperti jalan setapak di lereng gunung. Tapi jangan salah! Ia sudah menguasai beberapa jurus ilmu silat yang pantang disepelekan.
Tring! Tring! Tring!
"Cukup! Latihan hari ini cukup sampai di sini. Sekarang kalian boleh istirahat." Maha Guru Ayah memberi perintah. Kedua pendekar perempuan sontak menghentikan tarian pedang, saling beradu tatap sejenak, lalu secara bersamaan mengangguk hormat.
"Siap guru!"
"Jangan lupa simpan pedangmu di tempatnya, Ni! Aku tidak ingin mendengar wadulanmu kehilangan benda keramat itu lagi." Maha Guru Ayah menatap tajam ke arah Ni Ayu. Gadis itu mengangguk tersipu.
"Dan kau, Nyai Fatimah. Teruskan minum ramuan kunyit madu untuk membersihkan sisa-sisa luka dalam akibat serangan Pendekar Tua Aneh itu."
"Siap guru!"
***
Tidak semua hal bisa dijabarkan secara logika. Contohnya; Cinta
Ni Ayu mendahului masuk ke dalam bilik penyimpanan senjata. Sesuai perintah Maha Guru Ayah, ia tidak ingin pedang keramat yang diberi nama Mata Setan itu ketlisut lagi.
Sementara Nyai Fatimah memilih mengayun langkah menuju dapur. Setelah menjerang air di atas tungku, diraupnya segenggam kunyit dari botekan kayu. Kemudian agak tergesa ia berjalan menuju pancuran bambu yang terletak di halaman samping dapur.
"Jangan lupa beri sedikit garam saat menyeduh ramuan kunyit madu, ya, Nyai. Agar khasiatnya semakin ampuh." Sebuah suara membuatnya berhenti mencuci rimpang-rimpang. Begitu membalikkan badan, ia berubah gugup.Â
Maha Guru Ayah!Â
Sejak kapan laki-laki itu berdiri di belakangnya?
"Kenapa kau selalu kikuk setiap kali berhadapan denganku, Nyai? Apa aku ini terlihat menyeramkan?" Maha Guru Ayah menyungging senyum.
"Tidak, bukan begitu. Eh, aduh, bagaimana ini. Air yang kujerang pasti sudah mendidih!" Nyai Fatimah buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana air akan mendidih kalau kaulupa menyalakan apinya, Nyai?" Senyum Maha Guru Ayah kian melebar.
Nyai Fatimah tertegun.Â
Kalimat itu, ah, mengapa ia masih mengingatnya sampai sekarang?Â
"Maafkan aku." Nyai Fatimah takbisa lagi menyembunyikan rasa bersalahnya.
"Maaf untuk apa? Untuk penolakan cinta di masa lalu? Dengar, Fatimah. Aku sudah ikhlas menerima takdirku."
"Tidak, Firdaus. Kau belum sepenuhnya ikhlas. Buktinya kau masih menyelamatkan aku. Mengapa tidak kaubiarkan saja aku mati?"
Mendengar kata-kata Nyai Fatimah, Maha Guru Ayah sontak merangsek maju. Diraihnya tangan perempuan itu lalu digenggamnya erat-erat.
"Guru! Eh, maaf...aku kira Guru sendirian." Seseorang tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur, membuat wajah Nyai Fatimah dan Maha Guru Ayah bersemu merah.
Artati.Â
Murid senior berjuluk Pendekar Tepi Sungai Mahakam itu sontak berbalik badan. Hatinya merasa perih menyaksikan adegan tak terduga itu.
"Baiklah, Nyai. Silakan melanjutkan pekerjaanmu. Sampai bertemu nanti malam!"Â
Maha Guru Ayah melepas genggaman tangannya perlahan. Setelah mengangguk kecil ia berlalu meninggalkan Nyai Fatimah---perempuan yang pernah membuatnya bertindak konyol.Â
Bagaimana tidak konyol? Demi bisa menikmati berlama-lama wajah perempuan itu, ia mesti berpura-pura menjadi tukang gali 'lubang sumur'. Di sebuah taman. Beberapa tahun silam.
Bersambung....
***
Malang, 13 Januari 2023
Lilik Fatimah Azzahra
Cersil sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H