"Berapa bulan usia kandunganmu?" Tanyaku seraya menyodorkan sehelai handuk kering ke arahnya. Perempuan muda itu terbatuk-batuk kecil lalu menjawab dengan suara pelan, "Sudah sembilan bulan lebih, Bu."
"Sudah kauperiksakan ke dokter atau bidan? Sebab sepertinya..." aku tidak melanjutkan kalimatku. Kuamati sekali lagi perut besar perempuan itu. Bentuknya yang membola sudah agak menggelosoh turun.
Sepengetahuanku, kondisi perut semacam itu memberi tanda bahwa bayi yang ada di dalam kandungan akan segera lahir.
***
Setelah bertukar pakaian dan minum segelas teh hangat buatanku, perempuan muda itu memperkenalkan diri.
"Nama saya Rianti, Bu. Saya berasal dari kampung. Setahun lalu saya datang ke kota ini untuk mencari pekerjaan."
Aku sama sekali tidak terkejut mendengar kelanjutan ceritanya. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Tipu daya yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab dengan dalih mencarikan pekerjaan bagi gadis-gadis urban bukan lagi sesuatu yang baru.
Dan, Rianti hanyalah salah satu dari sekian banyak korban tipu daya itu.
"Kau sudah bersuami?" tanyaku lagi.
Tidak ada jawaban.
Kukira aku tidak perlu memaksa perempuan bernama Rianti itu untuk memberikan jawaban atas pertanyaanku. Itu hak dia. Bagiku yang terpenting saat ini adalah rasa peduli terhadap kondisinya yang memprihatinkan.
Begitulah. Sejak saat itu Rianti kuminta tinggal bersamaku. Sesuai dugaanku, beberapa hari kemudian ia merasakan tanda-tanda bayinya akan lahir. Aku pun segera membawanya ke bidan terdekat.