"Dongengnya Pangeran Kodok lagi, ya, Bu!"Â Pinta Aisyah renyah.
Seperti malam-malam sebelumnya aku tak kuasa menolak permintaan bocah itu. Mendongenginya sebelum beranjak tidur.
Ya, Aisyah. Ia terlalu berharga bagi hidupku. Menyenangkan hatinya meski harus mengulang dongeng itu-itu juga, bagiku adalah suatu keharusan.
Kukatakan sekali lagi, Aisyah terlalu berharga bagi hidupku. Betapa tidak. Di usiaku yang sudah tidak muda lagi ia hadir sebagai teman, pelipur hati, sekaligus pengusir rasa sepi.
Usai mendengar akhir dongeng Pangeran Kodok favoritnya, Aisyah pun tertidur pulas. Wajahnya yang manis memancarkan cahaya menenangkan.
***
Menatap diam-diam wajah manis Aisyah membuatku kembali terkenang pada masa lalu. Masa di mana aku 'mendapatkan' Aisyah secara begitu tiba-tiba.
Baiklah. Akan kuceritakan satu kisah yang pernah disembunyikan oleh hujan.Â
Suatu senja langit menumpahkan air begitu deras, disertai petir yang menyambar-nyambar. Aku baru saja berniat menutup gerai toko ketika seorang perempuan muda berlari-lari kecil menyeberang jalan, menuju ke arahku. Tubuh perempuan itu basah kuyup sebab ia tidak mengenakan mantel hujan atau payung.
"Bu, boleh saya ikut berteduh sebentar di sini?" Perempuan itu menerobos masuk ke dalam toko, menatapku dengan mata sayu. Tubuhnya menggigil kedinginan.
Penampilan perempuan muda itu sontak mencuri perhatianku. Terutama pada bagian perutnya yang membuncit.
"Berapa bulan usia kandunganmu?" Tanyaku seraya menyodorkan sehelai handuk kering ke arahnya. Perempuan muda itu terbatuk-batuk kecil lalu menjawab dengan suara pelan, "Sudah sembilan bulan lebih, Bu."
"Sudah kauperiksakan ke dokter atau bidan? Sebab sepertinya..." aku tidak melanjutkan kalimatku. Kuamati sekali lagi perut besar perempuan itu. Bentuknya yang membola sudah agak menggelosoh turun.
Sepengetahuanku, kondisi perut semacam itu memberi tanda bahwa bayi yang ada di dalam kandungan akan segera lahir.
***
Setelah bertukar pakaian dan minum segelas teh hangat buatanku, perempuan muda itu memperkenalkan diri.
"Nama saya Rianti, Bu. Saya berasal dari kampung. Setahun lalu saya datang ke kota ini untuk mencari pekerjaan."
Aku sama sekali tidak terkejut mendengar kelanjutan ceritanya. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Tipu daya yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab dengan dalih mencarikan pekerjaan bagi gadis-gadis urban bukan lagi sesuatu yang baru.
Dan, Rianti hanyalah salah satu dari sekian banyak korban tipu daya itu.
"Kau sudah bersuami?" tanyaku lagi.
Tidak ada jawaban.
Kukira aku tidak perlu memaksa perempuan bernama Rianti itu untuk memberikan jawaban atas pertanyaanku. Itu hak dia. Bagiku yang terpenting saat ini adalah rasa peduli terhadap kondisinya yang memprihatinkan.
Begitulah. Sejak saat itu Rianti kuminta tinggal bersamaku. Sesuai dugaanku, beberapa hari kemudian ia merasakan tanda-tanda bayinya akan lahir. Aku pun segera membawanya ke bidan terdekat.
Kepada bidan kenalanku itu kukatakan jikalau Rianti adalah keponakan yang baru datang dari desa dan suaminya sedang dinas di kota lain.
Aku menemani proses persalinan hingga usai. Seorang bayi perempuan lahir dengan tangis melengking. Haru nian hati ini melihatnya. Dan, atas izin ibunya aku beri nama bayi itu Aisyah.
***
Kehadiran Aisyah nyatanya tidak mampu menjadikan Rianti istiqamah menjalani tugasnya sebagai seorang ibu. Dua bulan usai persalinan, ia mengutarakan keinginannya untuk pergi.
"Saya titipkan Aisyah kepada ibu. Saya yakin ibu bisa merawatnya dengan baik. Kelak jika masalah saya sudah selesai, saya akan kembali menjemputnya." Begitu janji yang diucapkan oleh perempuan muda itu sebelum benar-benar berlalu pergi.
Sungguh. Aku sama sekali tidak ambil peduli pada janji perempuan muda itu. Hati dan pikiranku lebih fokus pada Aisyah. Aku ingin selalu bersamanya, merawatnya semampuku. Sebab aku sudah terlanjur jatuh hati kepadanya.
Terlalu antusias menceritakan Aisyah kecil membuat aku lupa bercerita tentang diriku sendiri.
Tapi, apakah itu penting?
Aku ini hanya seorang perempuan biasa. Yang lebih sering menjalani hari-hari sendirian meski sebenarnya aku bersuami.
Sebagai seorang kontraktor suamiku jarang pulang. Ia harus berpindah-pindah tempat sesuai job yang ditanganinya. Kadang ia bertugas jauh di luar kota. Atau bahkan melintasi pulau. Dalam satu tahun pertemuan kami bisa dihitung dengan jari.
Kami menjalani hubungan tidak sehat ini hampir dua belas tahun.Â
Tentu aku merasa sangat kesepian. Terutama hingga sejauh ini kami belum dikarunia anak seorang pun.
Dalam hal ini akar masalah ada padaku. Hasil pemeriksaan medis menyatakan organ reproduksiku tidak berfungsi dengan baik.
Sangat menyedihkan, bukan?Â
Apalagi setelah mengetahui aku tidak bisa memberinya keturunan, suamiku semakin jarang pulang.
Ah. Kupikir lebih menyenangkan bercerita tentang Aisyah.Â
Dari hari ke hari bocah itu tumbuh sehat dan menggemaskan. Kalau boleh jujur aku berharap Rianti --- ibu kandung Aisyah lupa pada janji yang pernah diucapkannya.Â
Aku tidak ingin perempuan itu muncul dan merenggut Aisyah dari pelukanku.
***
Ini musim hujan keempat sejak kepergian perempuan muda itu. Dan aku menjalani hari-hari bersama Aisyah tanpa seorang pun mengusik ketenangan kami.
Sampai suatu malam laki-laki yang masih berstatus suamiku itu muncul. Kubiarkan matanya terbelalak saat mengetahui ada bocah kecil tertidur pulas di atas tempat tidur.
"Siapa dia?" Ia bertanya gusar.
"Anakmu dari perempuan lain bernama Rianti." Jawabku dengan mimik amat tenang.
"Ri-anti?"
"Ya! Rianti. Masih ingat dia, bukan? Rianti mencarimu hingga sampai ke rumah ini."
Laki-laki itu mundur beberapa langkah.
Sembari tersenyum aku melanjutkan kalimatku.
"Waktu itu hujan turun sangat deras. Rianti datang. Ia sedang hamil tua. Sebagai sesama perempuan tentu aku wajib merasa iba. Aku lantas membantunya menghadapi proses persalinan. Aku buang egoku jauh-jauh dan berpura-pura tidak tahu hubungan yang terjalin di antara kalian."
Sampai di sini aku tidak memedulikan lagi respon - apa pun, dari laki-laki itu. Aku benar-benar tidak peduli!
Ya. Aku lebih peduli pada Aisyah yang mendusin dan berseru lantang memanggilku. "Ibu! Apakah Pangeran Kodok jelek itu sudah pergi?"
***
Malang, 22 Oktober 2022
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI