Kepada bidan kenalanku itu kukatakan jikalau Rianti adalah keponakan yang baru datang dari desa dan suaminya sedang dinas di kota lain.
Aku menemani proses persalinan hingga usai. Seorang bayi perempuan lahir dengan tangis melengking. Haru nian hati ini melihatnya. Dan, atas izin ibunya aku beri nama bayi itu Aisyah.
***
Kehadiran Aisyah nyatanya tidak mampu menjadikan Rianti istiqamah menjalani tugasnya sebagai seorang ibu. Dua bulan usai persalinan, ia mengutarakan keinginannya untuk pergi.
"Saya titipkan Aisyah kepada ibu. Saya yakin ibu bisa merawatnya dengan baik. Kelak jika masalah saya sudah selesai, saya akan kembali menjemputnya." Begitu janji yang diucapkan oleh perempuan muda itu sebelum benar-benar berlalu pergi.
Sungguh. Aku sama sekali tidak ambil peduli pada janji perempuan muda itu. Hati dan pikiranku lebih fokus pada Aisyah. Aku ingin selalu bersamanya, merawatnya semampuku. Sebab aku sudah terlanjur jatuh hati kepadanya.
Terlalu antusias menceritakan Aisyah kecil membuat aku lupa bercerita tentang diriku sendiri.
Tapi, apakah itu penting?
Aku ini hanya seorang perempuan biasa. Yang lebih sering menjalani hari-hari sendirian meski sebenarnya aku bersuami.
Sebagai seorang kontraktor suamiku jarang pulang. Ia harus berpindah-pindah tempat sesuai job yang ditanganinya. Kadang ia bertugas jauh di luar kota. Atau bahkan melintasi pulau. Dalam satu tahun pertemuan kami bisa dihitung dengan jari.
Kami menjalani hubungan tidak sehat ini hampir dua belas tahun.Â