Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | [Bag 3] Dendam Perempuan Lembah Ayu

7 Juli 2021   18:12 Diperbarui: 9 Juli 2021   05:30 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://id.pinterest.com/goturpt

Bag.3

Keganjilan Pertama

Malang, siang hari pukul 13.00 WIB.

Mobil Ayla warna hitam itu meluncur tersendat di tengah lalu lintas kota. Puncaknya ketika memasuki kawasan Dinoyo, kawasan yang memang sarat dengan fasilitas umum, kemacetan benar-benar tidak bisa dihindari.

Dalam suasana begini --- panas dan macet, para pengemudi memang diuji kesabaran. Kalaupun ada rasa kesal dan lelah, cukup disimpan di dalam hati saja. Tak perlu diumbar menjadi sumpah serapah yang akan menambah suasana semakin gerah.

Tak terkecuali Diar. Berkali lelaki gondrong itu menahan diri untuk tidak membunyikan klakson mobil. Ia memilih menikmati perjalanan apa adanya. Baginya macet adalah sebagian dari seni dan risiko para pengguna jalan. Kalau tidak ingin terjebak macet, ya tidak usah pergi ke mana-mana. Berkurung diri saja di dalam kamar. Begitu ia membatin.

Sementara Nilam yang duduk manis di sampingnya, entah sudah berapa kali jemari tangan gadis itu bolak-balik mengecek layar ponsel. Bunyi pang-ping membuatnya tak sempat memikirkan keriuhan atau kemacetan yang terjadi.

Diar melirik arloji di pergelangan tangannya. Dalam kondisi normal, perjalanan Malang-Pujon bisa ditempuh hanya dalam satu jam. Tapi kali ini bisa memakan waktu lebih. Kota Malang memang telah jauh berubah.

Kebebasan menyetir baru benar-benar dirasakan ketika mobil keluar dari jalan utama dan mulai memasuki area pedesaan. Diar pun melepas kelegaan dengan bersiul-siul kecil.

"Sebentar lagi kita sampai di pos satu, Ni. Bersiap-siaplah. Setelah itu kita akan bertukar kendaraan." Diar menjelaskan tanpa menoleh. Nilam menegakkan punggungnya sedikit, lalu melempar pandang ke sekeliling.

"Aku buka jendelanya, ya. Udara di luar sepertinya jauh lebih sejuk ketimbang AC mobil ini," Nilam menekan tombol otomatis yang berada tepat di bawah sikunya. Sebentar kemudian angin lembut berembus masuk, berebut menyentuh wajahnya yang tirus.

***
Di gerbang perbatasan desa, seorang pemuda bertubuh kurus, berambut ikal, mengenakan masker merah menyala menyambut kedatangan mereka. Pemuda itu melambaikan tangan, memandu Diar agar memarkir kendaraannya di tanah lapang yang bertuliskan Lembah Ayu Pos 1.

"Selamat datang, kakak-kakak. Saya Jack. Saya yang akan menemani perjalanan kalian." Pemuda itu menjura begitu melihat Diar dan Nilam keluar dari mobil.

Setelah berbincang-bincang sejenak dengan pemuda yang mengaku bernama Jack itu, mereka berjalan menuju Jeep yang sudah dipersiapkan.

"Saya hanya mengantar sampai separuh perjalanan, ya, Kak. Sebab medan selanjutnya hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki." Jack menjelaskan sebelum melompat mendahului masuk ke dalam Jeep.

"Kok hanya separuh perjalanan?" Nilam menatap Diar was-was.

"Kan sudah kubilang..." Diar berusaha menekan kalimatnya. Ia balas menatap Nilam, mencari-cari sesuatu di kedalaman mata gadis itu.

"Eits, jangan bilang kau menyesal telah membawaku ke sini, ya, Tuan gindrong." Seolah tahu apa yang tengah dipikirkan oleh kekasihnya itu Nilam menyela tegas.

Dan Diar memilih tidak memperpanjang kata-katanya. Sebab ia tahu. Menghadapi makhluk bernama perempuan para lelaki memang sebaiknya mengalah saja. Karena jika tidak, mereka bisa menghadapi masalah jauh lebih pelik dari sekadar menerobos jalanan yang macet.

***
Di dalam Jeep Diar mengamati sekali lagi peta lokasi Lembah Ayu yang akan mereka datangi. Dari desa tempat ia memarkir mobil tadi jarak tempuh berkisar 20 kilometer. Tidak seberapa jauh sebenarnya. Tapi karena lokasinya berada di ketinggian dan kondisi medan lumayan sulit, perjalanan diprediksi bisa memakan waktu lebih lama.

"Kakak baru pertama kali datang ke Lembah Ayu ini, ya?" Jack menatap Diar melalui kaca spion yang tergantung di atas kepalanya.

"Iya, benar." Diar mengangkat dagu sedikit.

"Banyak tidak yang datang ke lembah itu?" Nilam tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

"Dulu sebelum pandemi lumayan banyak, Kak. Tapi sekarang hanya ada satu dua saja."

"Apa benar Lembah Ayu itu angker?" Nilam memberanikan diri bertanya lagi.

"Rumornya sih begitu, Kak. Banyak kejadian aneh dialami oleh orang-orang yang pernah berkunjung ke sana," Jack menjawab sembari tertawa. Nilam yang duduk bersebelahan dengan Diar merapatkan diri.

"Kenapa? Takut?" Diar sengaja menggoda gadis itu.

"Enak saja! Siapa bilang aku takut? Lagi pula buat apa takut. Kan ada kamu..." Nilam membuka sedikit maskernya lalu meleletkan lidah.

Percakapan mesti terhenti. Jeep yang mereka tumpangi mendadak oleng akibat kontur tanah yang tidak merata. Mesinnya menggerung-gerung. Nilam sempat nyaris terlontar dari duduknya kalau saja ia tidak keburu mencengkeram kuat lengan Diar.

Sementara Jack tampak berkonsentrasi penuh. Ia berusaha keras memilih jalan yang tidak terlalu ekstrem. Tapi tetap saja mobil oleng ke sana ke mari. Penumpangnya terguncang-guncang hebat seperti joki di atas punggung kuda. 

Puncaknya ketika melintasi tikungan yang sedikit menanjak, mesin mobil mendadak mati.

"Ada masalah?" Diar yang berada tepat di belakang sopir menggeser duduk.

"Entahlah, Kak. Tidak biasanya mobil ini rewel begini," Jack menyahut pelan

"A-pa maksudnya?" Nilam menatap Diar was-was.

"Mungkin mobil ini kehabisan bahan bakar. It's oke, kami bisa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki." Diar siap-siap melompat turun.

"Bukan kehabisan bahan bakar, Kak. Tanki mobil ini penuh. Tadi sebelum berangkat sudah saya isi." Jack mengutak-utik kabel di dekat kakinya. Kemudian ia mencoba memutar kunci starter. Tapi mobil tetap diam tak bereaksi.

"Sepertinya mobil ini mogok berat. Saya minta maaf, ya, Kak. Saya cuma bisa mengantar kalian sampai di sini," Jack melompat turun dan menjura. Kali ini juranya lebih lama dan dalam.

Diar mengangguk seraya meraih ujung lengan Nilam. Ia sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ya. Ia harus sampai di lereng lembah sebelum hari berubah gelap.

***
Bunyi tonggeret mulai bersahut-sahutan. Menandakan siang segera bertukar tempat dengan petang.

"Masih jauh, tidak?" berkali Nilam bertanya begitu. Dan berkali pula Diar menjawab dengan anggukan.

"Aduh, ada apa pula dengan kakiku ini!" Tiba-tiba Nilam menjatuhkan diri di atas rerumputan. Diar yang berjalan mendahuluinya spontan ikut berhenti.

"Coba buka sepatumu, Ni." Diar berjongkok, menyentuh lutut Nilam beberapa saat.

"Kakimu mengalami kram, Ni. Sebaiknya istirahatkan dulu di sini. Berselonjorlah dengan santai." Diar mengeluarkan obat gosok dari dalam tas pinggangnya. Lalu hati-hati jemarinya memijit kaki gadis itu.

"Seharusnya aku mendengar nasihatmu, ya, Tuan gondrong. Toh keberadaanku cuma merepotkanmu ...."

"Sudah. Tidak usah bilang begitu. Istirahat saja dulu."

Entah mengapa kali ini Nilam memilih tidak ingin menyanggah apa-apa.

***
Senja hampir bersembunyi di kaki langit ketika perjalanan menuju lembah mencapai titik akhir. Rasa penat seketika hilang terbayarkan oleh keindahan alam semesta yang menghampar luas di depan mata.

Sebelum mendirikan tenda, Diar merogoh ponsel yang terselip di saku ransel paling bawah. Ia bersyukur sinyal internet masih bisa terjangkau. Dengan begitu tak ada kendala jika ingin bertukar kabar dengan Bayu, Pimred yang telah menugaskannya ke lembah ini.

Usai membaca sederet panggilan tidak terjawab dari Bayu, ia gegas menelpon balik.

"Hallo, Sorry, Mas Bayu. Baru bisa kasih kabar. Kami sudah sampai di lereng lembah dengan selamat."

"Ya, hallo Bro! Syukurlah. Aku tadi berkali menelponmu tapi tidak kauangkat. Cuma ingin memberitahu, sopir Jeep yang bertugas menjemput kalian:di Pos satu mengaku kebingungan. Katanya ia tidak berhasil menemukan keberadaan kalian."

"What?! Dia sudah mengantar kami sampai separuh perjalanan, Mas."

"Oh, ya? Masa si Fred berbohong padaku?"

"Fred? Sopir Jeep itu namanya Jack, Mas."

"Kau serius Bro? Kau tidak salah orang?"

"Kukira tidak Mas. Biar kusebutkan ciri-cirinya ya. Jack bertubuh kurus, rambutnya ikal, dan ...."

"Astaga, Bro! Si Jack itu sudah lama meninggal. Dia mengalami kecelakaan. Mobilnya terbalik di kilo meter 10 arah menuju lembah. Ada beritanya itu. Nanti aku kirim, ya. Dan, di Pos satu Fred-lah yang bertugas menggantikannya."

Sampai di sini Diar terdiam. Ia menoleh perlahan ke arah Nilam.

Semoga saja gadis itu tidak mendengar apa-apa.

Bersambung ....

***

Malang, 08 Juli 2021

Lilik Fatimah Azzahra 

Kisah sebelumbya:

Bag.1

Bag.2

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun