Bag-5
Ruang Bawah Tanah
-----------
Laquita.Â
Dari jauh ia bisa melihat sosok itu duduk membelakanginya di bangku taman paling ujung. Gadis itu berdehem.
"Maaf menunggu lama. Aku mesti mengantar kakakku dulu."
Tak ada sahutan.
"Je, kamu kenapa? Sakit?" Laquita membetulkan letak topengnya yang miring. Jeremy mengangguk kecil seraya memegangi leher dan merogoh saku celananya---mengeluarkan ponsel dan mengetik satu kalimat.
Terkena radang tenggorokan.
"Perlu periksa ke dokter?" Laquita menyarankan. Jeremy mengangguk. Lalu mengetik satu kata lagi.
Antarkan.
***
Laquita menyandarkan punggung pada jok mobil, menatap sosok pria yang duduk di sebelahnya yang sudah mengambil alih kemudi. Ia sempat berpikir, andai Jeremy melepas topengnya dan menunjukkan wajah aslinya, apakah ia akan mendapatkan satu kejutan? Dari bentuk leher yang kuat Laquita meyakini---wajah di balik topeng itu pasti sangatlah menawan.
Lama Laquita membiarkan imajinasinya meliar. Membayangkan wajah Jeremy dan dirinya tanpa topeng. Membayangkan pria gagah itu tersenyum lalu menyentuh dagunya.
Ah, ia membayangkan begitu banyak hal menyenangkan sehingga tidak menyadari mobil yang mereka tumpangi telah meluncur jauh meninggalkan kota.
Laquita tersadar dari lamunan ketika mobil mulai melewati jalanan menanjak. Lalu menurun lagi mengikuti jalan yang berkelok-kelok.
"Je, masih jauhkah tempat praktik dokter itu?" Laquita menoleh ke arah Jeremy. Jeremy tidak menyahut. Laquita melirik sekilas arloji di pergelangan tangan kirinya.
Sudah hampir satu jam mereka berkendara.
Setelah melewati jalan makadam berbatu, mobil berbelok, lalu berhenti di depan sebuah rumah berpagar tinggi. Roda mobil mendecit. Suara mesinnya menggerung-gerung berpadu dengan bunyi klakson yang dipencet berkali-kali.
Seorang laki-laki berumur tergopoh menggeser pagar ke arah samping.
Mobil bergerak lagi memasuki halaman rumah. Kali ini berhenti tepat di sebelah taman kecil. Pengemudinya melompat turun, berjalan memutar dan siap membukakan pintu untuk Laquita.
Laquita masih tertegun, menatap bangunan megah yang berdiri di hadapannya. Matanya yang bulat sibuk mencari-cari tulisan Praktik Dokter---atau semacamnya.
Tapi ia tidak menemukan apa-apa.
Atau---mungkinkah ini rumah dokter pribadi Jeremy?
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak gadis itu. Tapi tidak lama, sebab tangan perkasa Jeremy sudah menyentuh lengannya. Membimbingnya turun dari mobil.
Masih dengan bibir terkatup Laquita mengikuti langkah Jeremy memasuki gang kecil di samping rumah induk. Lalu berbelok ke arah kiri dan berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu mahoni berukir.
Jeremy merogoh saku celananya. Mengeluarkan serentengan anak kunci.
Sesaat Laquita ragu. Ia mengernyit alis. Mulai merasakan keganjilan.
"Je, kukira kita salah tempat," akhirnya Laquita bicara. Jeremy tidak menyahut. Pria itu sibuk memilih anak kunci yang cocok untuk membuka pintu. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi ceklek! Pintu terkuak lebar.
Jeremy memberi tanda dengan mengangkat tangan agar Laquita kembali mengikutinya. Dan Laquita tidak bisa menolak.
***
Rumah besar itu ternyata memiliki banyak ruangan. Jeremy membawa Laquita melewati koridor panjang. Dan baru berhenti di depan sebuah ruangan---semirip gudang yang terletak di bagian bangunan paling ujung. Ketika Jeremy membuka pintu keadaan di dalam ruangan sangat gelap, membuat pria bertopeng itu harus menekan tombol lampu terlebih dulu.
Dan ketika lampu menyala, Laquita menahan napas.
Beberapa benda tak lazim terpajang di dalam lemari-lemari kaca yang berjejer rapi di sepanjang ruangan. Laquita nyaris terpekik saat melihat tengkorak kepala manusia---dengan sederetan gigi masih utuh, mengisi salah satu lemari di sudut sebelah kiri. Sedang pada deret lemari kaca di sebelah kanan, tumpukan tulang belulang kering, diletakkan begitu saja semirip onggokan kayu yang siap dimasukkan ke dalam pediangan.
Laquita merapatkan tubuhnya yang tiba-tiba menggigil.
"Je, tempat apa ini?" ia hampir saja bertanya begitu, kalau saja tidak keburu melihat salah satu lemari yang berada di hadapannya tiba-tiba saja menukik, seolah hendak menimpanya.
Laquita melompat mundur.
Tapi kemudian ia menarik napas lega. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Lemari itu sama sekali tidak menimpanya. Benda terbuat dari kaca itu kembali ke posisi semula. Bergeser perlahan ke arah kiri disertai bunyi mendecit yang aneh.
Dan yang terlihat kemudian sebuah lubang besar menganga di tempat lemari kaca tadi berdiri. Laquita membelakkan mata.
Ruang bawah tanah!
Tampak pula anak tangga menurun terbuat dari papan kayu yang di tengah-tengahnya tertutup kain beludru berwarna merah marun.
Jeremy menggamit lengan Laquita---lebih tepatnya menyeret gadis itu agar bergegas mengikutinya, sebelum lemari kaca yang tadi bergeser kembali ke tempatnya semula.
"Je, tempat apa-an ini?" Laquita tidak mampu lagi menahan diri untuk tidak bertanya.
Dan seperti sebelumnya. Pria bertopeng itu tidak menyahut. Masih bungkam.
***
Setelah menuruni belasan anak tangga yang tertutup kain beludru bewarna gelap, mereka sampai di sebuah ruangan semirip bangsal. Dinding ruangan didominasi oleh warna putih. Tampak sederetan ranjang berjejer rapi. Ada sekitar sepuluh ranjang yang di atasnya terlentang tubuh-tubuh kurus tak berdaya ditutupi selimut.
Laquita melirik ke arah tubuh-tubuh berselimut itu. Ia terkesiap.
Wajah-wajah mereka bertopeng!
Laquita menghidu napas berkali-kali. Dadanya terasa sesak. Ia terlalu banyak melihat hal-hal mengagetkan malam ini.
Lalu ia memutuskan untuk bertanya kembali kepada Jeremy.
Tapi belum sempat ia menoleh, sebuah tangan---bukan tangan Jeremy, mendorong tubuhnya dan mendudukkannya tepat di atas sebuah kursi roda dengan cara teramat kasar.
***
"Hei, apa yang kau lakukan padaku?!" Laquita berusaha berdiri dari kursi roda yang entah bagaimana caranya, tahu-tahu sudah mengunci kedua pergelangan tangannya.
"Tenanglah, Nona. Kami akan berusaha menyembuhkanmu," suara serak seseorang membuat Laquita menengadahkan kepala. Dan ia menjerit histeris saat mengetahui wajah orang asing yang bicara dengannya.
Wajah itu rusak parah.
"Je! Tolong aku!" Laquita melengkingkan suaranya. Tapi percuma. Teriakannya hanya memantul di dinding.
Dan Jeremy yang diharapkan bisa membantunya, diam-diam sudah pergi menghilang.
Â
Bersambung....
***
Kisah sebelumnya 1| 2||3|4|
Malang, 16 Desember 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H