Dua orang pria mengenakan penutup wajah melompat dari balik pepohonan sawit. Seketika instingku bekerja. Hindari mereka! Penampilan yang aneh dan mencurigakan bisa jadi adalah sinyal bahwa mereka pasti bukanlah orang baik-baik.
"Heeiii, berhentiii...!!!" teriakan itu terdengar lagi. Kali ini lebih lantang. Aku semakin mempercepat langkahku.
Tidak, bukan mempercepat langkah. Lebih tepatnya aku mulai berlari. Berlari kencang. Sekencang-kencangnya.Â
Dan dua pria bertopeng itu ternyata mengejarku. Kaki mereka berderap bersentuhan dengan bongkah tanah berbatu.
Rasa takut kian menguasai, menjalari sekujur tubuhku.Â
Ya, Allah...lindungilah aku. Beri kekuatan lebih pada kedua kakiku ini agar aku bisa berlari secepat angin.
***
Zona kilometer empat belum separuhnya terlewati. Napasku mulai tersengal. Sementara dua pria bertopeng masih terus mengejar di belakangku.Â
Aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Jantungku nyaris terhenti. Mereka--dua orang itu jaraknya semakin dekat. Pasti sebentar lagi keduanya akan berhasil menyusulku!
Aku ingin sekali berteriak minta tolong. Tapi siapa yang akan mendengar? Perkebunan sawit ini sangat luas. Sementara perkampungan tempat tinggalku masih cukup jauh.
Aku menyesal mengapa tadi menolak pengawalan yang ditawarkan oleh Dokter Iman.