Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Setan Zona Merah

29 November 2018   23:30 Diperbarui: 30 November 2018   04:37 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
yesmuslim.blogspot.com

Perempuan kurus itu duduk dengan tubuh gemetar. Wajahnya pucat pasi. Sesekali ia menyeka airmata menggunakan ujung hijabnya yang lusuh. Sementara bayi mungil dalam pelukannya tertidur pulas.

"Saya sudah mengingatkan Dimas, Bu Intan. Zona empat kilometer sangatlah rawan. Sering terjadi pembegalan di sana," tanpa kuminta perempuan itu mulai bertutur. Pandangannya terpaku pada sosok pemuda yang terbujur diam di atas ranjang. 

"Dan kekhawatiran saya pun terbukti. Penusukan itu, entah dilakukan oleh siapa..." Perempuan itu kembali sesenggukan.  

Aku menggeser dudukku. Mengelus perlahan punggung bayi dalam gendongannya.

"Bagaimana respon suami Ibu?" tanyaku hati-hati.

"Ia sangat marah. Ia mengatakan saya tidak becus mengurus anak karena membiarkan Dimas keluyuran hingga larut malam," jawab perempuan itu dengan suara bergetar. "Tapi saya tidak peduli dengan kemarahan suami saya. Saya tahu ini bukan kesalahan Dimas. Anak itu beritikad baik. Ia hendak mengembalikan buku yang dipinjam dari Bu Intan."

"Saya ikut prihatin," aku menghela napas panjang.

"Terima kasih, Bu. Kelak jika Bu Intan sudah menjadi seorang Ibu, pasti akan tahu bagaimana perasaan saya."

Aku terdiam. Mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut perempuan lugu itu. Kupandangi sosok mungil dalam gendongannya berlama-lama. Tanganku terulur. Membetulkan letak ujung selendang yang berjuntai.

Sekejap pandanganku beralih ke arah Dimas, murid bimbinganku yang sebentar lagi menghadapi Ujian Nasional. Pemuda itu kini hanya bisa terlentang di atas ranjang. Sebagian tubuhnya terbalut perban. Sontak dadaku terasa sesak. 

Hhh, entah apa yang terlintas dalam pikiran para begal saat mencegat bocah ingusan itu. Apa yang bisa dirampas darinya? Sepeda motor butut? Sebegitu murahkah harga nyawa seorang manusia hingga tidak lebih berharga dari sebuah motor tua?

"Mana suami Ibu?" tanyaku tiba-tiba. 

"Ia pamit keluar sebentar."

"Apakah ia tidak ingin mencari pelaku penusukan terhadap Dimas?" lanjutku. 

Sesaat perempuan kurus yang duduk di sampingku itu terdiam. Lalu pandangannya beralih pada seseorang yang berjalan tergesa, yang baru saja masuk ke dalam ruangan.

"Bu Intan. Ini Kang Marto, suami saya," perempuan itu berdiri menyongsong suaminya. Dan laki-laki yang baru datang itu mengangguk ke arahku. Kemudian mengulurkan tangan.

Saat aku membalas uluran tangannya itulah aku melihat. 

Pada punggung tangan laki-laki itu terdapat goresan panjang. Semacam luka yang belum sembuh. 

***

"Loh, Bu Intan masih di sini?" sebuah suara mengagetkanku. 

Dokter Iman, ia sudah berdiri di belakangku.

"Apakah sudah ada titik terang mengenai siapa penyerang gelap bocah ini, Dokter?" aku berdiri. Merapikan selimut Dimas yang tersingkap.

"Sepertinya belum," Dokter Iman tersenyum ke arahku.

"Sudah kuduga," aku bergumam. "Oh, ya, apakah Dokter masih bisa mengingat berapa jumlah korban yang berjatuhan selama dua bulan terakhir ini?"

"Sekitar empat orang."

"Dan sampai detik ini, belum satupun dari pelaku kejahatan itu berhasil diringkus. Apakah semua orang sudah menutup mata atas kejadian ini? Atau mesti menunggu korban berjatuhan lebih banyak lagi?" aku menatap dokter muda itu tak berkedip.

"Kita harus memakluminya, Bu Intan. Tempat terpencil seperti ini kadang memang kurang mendapat perhatian. Terkesan dianaktirikan," Dokter Iman berhenti sejenak. Lalu melanjutkan,"Entahlah, mungkin sebaiknya kita menunggu."

"Menunggu? Menunggu siapa Dokter? Menunggu aparat yang lamban bertindak?" aku tersenyum getir. 

Dokter Iman tidak menyahut. Ia hanya mengangkat bahu.

Aku bergegas merapikan seragamku.

"Dokter, saya harus pulang. Besok usai mengajar saya akan datang kemari lagi," aku menyentuh ujung kaki Dimas yang terasa dingin. Bocah SMU itu tampak masih terlelap akibat pengaruh obat tidur.

"Bu Intan berani pulang sendiri? Tidak butuh pengawalan?" 

"Tidak perlu, Dokter. Para begal tidak akan beroperasi saat hari masih terang," aku tersenyum. Menghapus kekhawatiran yang sempat terlintas di balik kacamata dokter muda yang sepertinya menaruh perhatian padaku itu. 

***  

Azan Magrib sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Jalanan tampak sepi dan lengang. Aku mempercepat langkah. 

Kakiku mulai menapaki zona rawan empat kilometer. Entah mengapa kali ini perasaanku agak gamang. Tidak seperti biasa. Dan parahnya lagi, aku merasa dibayang-bayangi oleh beberapa pasang mata yang tak henti menguntitku. 

Sesekali aku menoleh ke belakang. Memastikan bahwa keadaan di sekitar perkebunan baik-baik saja. 

Jangan cemas, Bu guru Intan. Lihatlah, senja belum tuntas membiaskan rona jingga. Pipi langit juga masih ranum semirip dengan pipimu.

Aku mencoba menenangkan diriku sendiri.

Berkali-kali kakiku tersandung bongkahan batu. Kiranya pikiranku tidak sinkron dengan hatiku yang belum mampu membuang jauh-jauh rasa was-was.

Zona merah! 

Rumahku masih jauh. Masih beberapa puluh kilometer lagi.

Langkahku mendadak terhenti ketika terdengar seruan lantang di belakangku.

"Berhentiiii...!!!"

Dua orang pria mengenakan penutup wajah melompat dari balik pepohonan sawit. Seketika instingku bekerja. Hindari mereka! Penampilan yang aneh dan mencurigakan bisa jadi adalah sinyal bahwa mereka pasti bukanlah orang baik-baik.

"Heeiii, berhentiii...!!!" teriakan itu terdengar lagi. Kali ini lebih lantang. Aku semakin mempercepat langkahku.

Tidak, bukan mempercepat langkah. Lebih tepatnya aku mulai berlari. Berlari kencang. Sekencang-kencangnya. 

Dan dua pria bertopeng itu ternyata mengejarku. Kaki mereka berderap bersentuhan dengan bongkah tanah berbatu.

Rasa takut kian menguasai, menjalari sekujur tubuhku. 

Ya, Allah...lindungilah aku. Beri kekuatan lebih pada kedua kakiku ini agar aku bisa berlari secepat angin.

***

Zona kilometer empat belum separuhnya terlewati. Napasku mulai tersengal. Sementara dua pria bertopeng masih terus mengejar di belakangku. 

Aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Jantungku nyaris terhenti. Mereka--dua orang itu jaraknya semakin dekat. Pasti sebentar lagi keduanya akan berhasil menyusulku!

Aku ingin sekali berteriak minta tolong. Tapi siapa yang akan mendengar? Perkebunan sawit ini sangat luas. Sementara perkampungan tempat tinggalku masih cukup jauh.

Aku menyesal mengapa tadi menolak pengawalan yang ditawarkan oleh Dokter Iman.

Jleedaakkkk!!! 

Sesuatu menghantam keras belakang kepalaku. Seketika mataku berkunang-kunang. Langkahku limbung. Aku kehilangan keseimbangan.

Dan tahu-tahu hidungku sudah mencium tanah.

Aku berusaha bangkit dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki. Tapi akibat pukulan telak di kepalaku membuat kesadaranku perlahan menghilang.

Remang-remang kulihat dua pria bertopeng yang mengejarku sudah berdiri di dekat kepalaku. Lalu tanpa ampun mereka menyeretku ke balik semak-semak. 

Sungguh, aku tidak bisa melawan kezoliman ini. Ketika tangan-tangan setan menjamah tubuhku. Aku hanya bisa mengaduh. Merasakan sakit yang luar biasa. 

Sakit yang teramat perih. Yang tidak saja merajam ragaku, tapi juga hatiku.

Sekujur tubuhku mulai berkeringat dingin. Disertai gigil. 

Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada aku berusaha meronta. Tapi apa dayaku? Aku sudah terlalu payah. 

Air mataku mulai tumpah. 

Beginikah rasanya di ambang ketidakberdayaan? Beginikah perasaan para korban kebiadaban saat tubuh lemah mereka menjadi ajang napsu bejat setan berwujud manusia? 

Tangan-tangan setan itu semakin liar menggerayangiku. Dan aku, hanya bisa meratap. 

Ya, Allah...mengapa Engkau ciptakan mahluk lemah sepertiku?

Langitku tak lagi merona jingga
Langitku perlahan berubah menjadi abu-abu
Tidak! Bukan abu-abu
Lebih tepatnya hitam, pekat bagai jelaga

Ketika salah seorang dari kedua laki-laki bertopeng itu berusaha mengoyak kemeja bagian atasku. Saat itulah aku terpekik. 

Pada punggung tangan setan biadab itu terdapat goresan panjang menyerupai luka yang belum sembuh!

***

Di saat aku pasrah pada nasib buruk yang sebentar lagi menimpaku, terdengar bunyi yang amat aneh.

Craaaakkkk! Craaaaak!

Bersamaan dengan itu terdengar lolongan histeris memecah kesunyian. Darah segar bercipratan mengenai wajahku.

Dua pria yang nyaris merenggut kesucianku mendadak tersungkur di atas tanah.

Di ambang kesadaran, samar-samar kulihat seseorang berjongkok. Satu tangannya masih memegang benda berkilau dengan darah berbau anyir menetes membentuk titik-titik polkadot di atas dadaku yang terbuka. 

Orang itu mendekatkan wajahnya.

Aku terperangah.

Orang itu!

Ya, orang yang telah menyelamatkanku dari tangan-tangan setan biadab itu. Ternyata ia adalah...

Mendadak sekelilingku berubah menjadi gelap.

***

Malang, 29 November 2018

Lilik Fatimah Azzahra

 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun