"Sepertinya belum," Dokter Iman tersenyum ke arahku.
"Sudah kuduga," aku bergumam. "Oh, ya, apakah Dokter masih bisa mengingat berapa jumlah korban yang berjatuhan selama dua bulan terakhir ini?"
"Sekitar empat orang."
"Dan sampai detik ini, belum satupun dari pelaku kejahatan itu berhasil diringkus. Apakah semua orang sudah menutup mata atas kejadian ini? Atau mesti menunggu korban berjatuhan lebih banyak lagi?" aku menatap dokter muda itu tak berkedip.
"Kita harus memakluminya, Bu Intan. Tempat terpencil seperti ini kadang memang kurang mendapat perhatian. Terkesan dianaktirikan," Dokter Iman berhenti sejenak. Lalu melanjutkan,"Entahlah, mungkin sebaiknya kita menunggu."
"Menunggu? Menunggu siapa Dokter? Menunggu aparat yang lamban bertindak?" aku tersenyum getir.Â
Dokter Iman tidak menyahut. Ia hanya mengangkat bahu.
Aku bergegas merapikan seragamku.
"Dokter, saya harus pulang. Besok usai mengajar saya akan datang kemari lagi," aku menyentuh ujung kaki Dimas yang terasa dingin. Bocah SMU itu tampak masih terlelap akibat pengaruh obat tidur.
"Bu Intan berani pulang sendiri? Tidak butuh pengawalan?"Â
"Tidak perlu, Dokter. Para begal tidak akan beroperasi saat hari masih terang," aku tersenyum. Menghapus kekhawatiran yang sempat terlintas di balik kacamata dokter muda yang sepertinya menaruh perhatian padaku itu.Â