"Politik di negara kita ini semakin hari semakin menggelikan!" suara Tuan Lukman memecah kesunyian. Mengagetkan penumpang bus yang sedang lelap-lelap ayam. Termasuk aku.
Pak Her--sang sopir, hanya melirik sekilas lewat kaca spion.
"Ada apa gerangan dengan Indonesia?" Mister Fred, satu-satunya penumpang berkebangsaan asing mengerjap-ngerjapkan mata, menoleh ke arah Tuan Lukman. Aksennya yang kagok terdengar lucu di telingaku.
Tak ada sahutan. Tuan Lukman tenggelam dalam ponselnya kembali. Hal itu membuat Mister Fred memilih mencairkan suasana dengan melantunkan penggalan terakhir lagu Indonesia Raya.
"Hiduplah Indonesia Raya..."
Aku bertepuk tangan. Memberi apresiasi kepada pria bule yang amat fasih berbahasa Indonesia itu. Dan tampaknya ia begitu bangga bisa menjadi bagian dari tour wisata hutan konservasi yang baru saja kita sudahi.
Brruummm...bruuummm...
Bus mendadak tersendat dan terbatuk-batuk. Dan yang pertama kali berseru panik adalah Kanaya.
"Oh, tidak! Kita akan terkurung selamanya di hutan yang angker ini!" Kanaya merapatkan tubuhnya ke arah Anggi. Anggi yang baru saja mendusin, mengucek-ngucek kedua matanya. Mengintip keadaan di luar melalui jendela bus yang tirainya dibiarkan terbuka.Â
"Waah, senja yang sangat keren!" Anggi meraba saku jaketnya. Mengeluarkan ponsel, lalu membidik beberapa gambar dari sudut pandang yang berbeda. "Lumayan, bisa menambah koleksi foto di IG."
Jleduuukkk!
Akhirnya bus benar-benar berhenti. Gerung mesin tidak terdengar lagi.
Kulihat Pak Her, supir sekaligus pemilik bus mini yang kami sewa turun dengan sigap. Diikuti oleh Tuan Lukman. Lalu menyusul Mister Fred.
"It's oke. Bus ini hanya lelah. Tidak apa-apa. Kita beristirahat sebentar di tempat ini," aku berdiri dan berbicara setenang mungkin. Kulihat Nyonya Prita meraih kepala putranya--Kevin.
"Ya, semua akan baik-baik saja," Nyonya Prita berbisik. Sekilas Kevin, bocah usia 10 tahun itu menatapku. Aku mengangguk sembari mengangkat kedua jempolku.
"Sebaiknya kita semua turun dari kendaraan. Pak Her akan memeriksa keadaannya," aku memberi komando. Kanaya melompat dari kursinya, nyaris terjatuh. Sedang Anggi dengan langkah tenang merekam adegan demi adegan. Seolah tengah membuat sekuel film.
"Anda mau coklat, Nyonya, El?" Anggi bicara padaku tanpa menoleh. Satu tangannya merogoh tas pinggang. Lalu menyodorkan coklat yang sudah tergigit ke arahku. Masih dengan berjalan mundur, ia memutar ponselnya ke segala arah.Â
"Ups! Kuskus!" suaranya tertahan. Dan ia memfokuskan kamera ponselnya ke arah sebuah pohon, tanpa mengindahkan anak tangga di pintu bus. Karena terlalu bersemangat, ia jatuh terpeleset.
"Kau tidak apa-apa?" aku membantunya berdiri. Mahasiswi berusia 21 tahun itu meringis seraya memegangi salah satu kakinya.
"Kukira---aku terkilir," ia mengeluh. Mister Fred melihat kejadian itu. Bule usia lanjut yang masih tampil bugar itu berjalan ke arah kami. Merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil.
"Minyak tawon asli. Oleh-oleh dari Makassar ketika aku melancong ke sana," Mister Fred tersenyum. Aku berjongkok, membantu menggosokkan minyak itu di sekitar kaki Anggi yang terlihat agak membengkak.
"Radiatornya bocor!" suara Pak Her mengalihkan perhatian kami. Aku gegas berdiri, menghampiri sopir tua yang memiliki riwayat penyakit jantung itu.Â
"Semua akan baik-baik saja kan, Pak Her?" aku membesarkan hatiku sendiri.
***
"Kita benar-benar terperangkap di tempat mengerikan ini" Kanaya kembali ribut. "Dan sialnya, hp-ku lowbat. Please! Aku phobia gelap!"Â
Aku tidak menanggapi kata-kata Kanaya. Sebagai orang yang bertanggung jawab penuh atas perjalanan wisata kali ini, yang ada dalam pikiranku adalah--aku harus segera mencari bantuan untuk mengangkut para penumpang.
"Beib, kau bisa menjemput kami? Bus mini yang kami tumpangi mogok di kilometer 4 sekitar hutan konservasi. Iya, Beib. Segera!" ujarku lewat telpon seluler. Â
"Wow, romantis sekali. Anda memanggil suami Anda-- Beib?" Anggi tersenyum padaku. Aku tersipu.
"Apa katanya?" Anggi tampak penasaran.
"Dia bisa membantu. Tapi perjalanan kemari butuh waktu 2 jam 15 menit. Dan mobil dia hanya mampu mengangkut 4 orang sekali jalan," aku menjelaskan dengan hati-hati.
"Oh my God! Itu lama sekali. Aku bisa mati terkurung di hutan angker ini!" kembali Kanaya bersuara.
"Diamlah, Kanaya! Jangan membuatku menyesal telah mengajakmu ikut wisata kali ini," Anggi menegur Kanaya.
"Kau bilang ini menyenangkan, Kak? Ini--sungguh amat mengerikan!"
"Semua akan baik-baik saja," aku mengangkat kedua tanganku. Mencoba menenangkan Kanaya yang menggigil seperti orang kedinginan. Walau hatiku sendiri sebenarnya diliputi rasa khawatir, sebab ini adalah kali pertama aku bertindak sebagai pemandu wisata.
***
Aku kembali mendekati Pak Her untuk melihat sejauh mana masalah radiator tertangani. Jerigen air ukuran 5 liter, isinya juga sudah tinggal separuh.
"Kau sudah menghubungi petugas hutan terdekat, El? Kudengar Tuan dan Nyonya Lukman besok pagi-pagi sekali harus terbang ke Jakarta untuk menghadiri acara Kompasianival," Pak Her berkata tanpa menatapku. Aku mengangguk. Seraya melirik bawah badan bus yang basah terguyur air.
***
Keributan kecil kembali terdengar. Kali ini berasal dari Tuan Lukman dan Nyonya Prita, istrinya..
"Inhaler, Ma! Papa lupa memasukkannya ke dalam ransel. Di sini hanya ada obat nyamuk!" Tuan Lukman berseru panik. "Seharusnya Kevin tidak ikut tour ini. Ia tidak boleh kelelahan. Asmanya sewaktu-waktu bisa kambuh."
"Tapi dia sangat menikmati wisata ini, Pa. Iya, kan Kevin?" Nyonya Prita mengelus lembut kepala Kevin. Bocah itu mengangguk.
"Pakailah inhaler milikku ini, Son," lagi-lagi Mister Fred mengulurkan benda kecil yang dibutuhkan oleh Kevin.
Sejenak keributan mereda.
"Oooh, my stomach!"Â mendadak Mister Fred memegangi perut buncitnya. Bunyi gemeluduk disertai bau gas yang menyengat membuat kami paham apa yang diinginkan oleh pria asing itu.Â
"I am sorry. Aku tadi menghabiskan dua kotak nasi sisa makan siang. Dan sekarang..."Â
"Anda bisa melakukannya di tempat darurat seperti ini, Mister?" aku was-was menatapnya.
"No problem!"
Tanpa menunggu kalimat perpisahan--atau apa namanya, pria bule itu bergegas meninggalkan kami.
Bersamaan itu terdengar bunyi motor mendekat.
"Siapa yang harus kubawa ke pondok terlebih dulu?" Pak Wito, penjaga hutan terdekat yang sempat kuhubungi--selain Beib, sudah datang. Dalam situasi seperti ini, tentu saja aku tidak boleh salah memilih orang. Kuputuskan Pak Wito membawa Kevin dan Ibunya terlebih dulu. Bocah itu butuh istirahat. Asmanya sedang kambuh.
"Bonceng dua sekaligus bisa, kan, Pak Wito? Sambil menunggu bantuan selanjutnya," aku menegaskan. Kukira tubuh kurus Kevin tidak menjadi soal. Demikian juga Nyonya Prita. Dia berpostur langsing.
"Kenapa bukan aku, Nyonya El?" Kanaya memprotes. Tangannya bergerak-gerak ke sana kemari. Sesekali matanya nanar menatap sekeliling.
"Kami masih ingin bersamamu, Kanaya. Mahluk di sekitar hutan ini takut sekali mendengar suaramu," ujarku menggodanya. Kanaya tercengang.
***
Waktu terus bergulir. Suasana hutan kian gelap dan mencekam. Pak Her pun sepertinya belum bisa menangani masalah radiator yang bocor.
"Air di dalam jerigen sudah hampir habis," suara Pak Her terdengar parau.Â
"Yang bocor bagian mana, Pak Her?" Â serius aku bertanya.
"Selangnya El!"
Seketika aku teringat sesuatu.
Lakban!
Yup. Aku membutuhkan benda itu. Tapi di mana aku bisa menemukannya dalam keadaan seperti ini?
"Adakah di antara kalian berdua yang membawa lakban?" aku menatap Anggi dan Kanaya bergantian.
"Aku hanya membawa coklat kesukaanku," Anggi membuka resleting tas pinggangnya.
"Aku bahkan tidak membawa apa-apa. Tas pun tidak. Anda tahu kenapa? Itu supaya aku bisa berlari kencang. Kalau terjadi sesuatu," Kanaya membetulkan letak topinya yang miring.
"Pria bule itu pasti membawanya. Aku yakin sekali!" Tuan Lukman antusias menimpali.
Ya. Tuan Lukman benar. Benda-benda tetek bengek pasti ada di dalam ransel besar Mister Fred.
Yang jadi masalah sekarang, mengapa Mister Fred belum juga muncul?
***
"Jangan-jangan pria bule itu sudah menjadi santapan harimau," suara Kanaya mengagetkanku. Spontan aku menggeleng. Aku tahu betul. Berdasarkan rekam jejak di meja redaksi kami, Mister Fred adalah seorang petualang yang tangguh. Ahli biologi yang sudah melanglang buana hampir ke seantero dunia. Pasti ia bisa mengatasi keadaan segenting apapun.
Aku sama sekali tidak meragukannya.
Priiiittttt!!!
Lengkingan peluit itu! Itu pasti Mister Fred.
Kami--aku dan Anggi gegas menghambur. Berusaha menemukan keberadaan pria tua itu. Tentu saja dengan tujuan yang benar-benar berbeda.
Aku membutuhkan lakban untuk menambal darurat selang radiator bus yang bocor. Sedang Anggi membutuhkan foto eksklusif seorang bule yang tengah kebingungan mencari air untuk berthaharah.
Anda tahu artinya berthaharah bukan?
***
Malang, 19 November 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H