Akhirnya bus benar-benar berhenti. Gerung mesin tidak terdengar lagi.
Kulihat Pak Her, supir sekaligus pemilik bus mini yang kami sewa turun dengan sigap. Diikuti oleh Tuan Lukman. Lalu menyusul Mister Fred.
"It's oke. Bus ini hanya lelah. Tidak apa-apa. Kita beristirahat sebentar di tempat ini," aku berdiri dan berbicara setenang mungkin. Kulihat Nyonya Prita meraih kepala putranya--Kevin.
"Ya, semua akan baik-baik saja," Nyonya Prita berbisik. Sekilas Kevin, bocah usia 10 tahun itu menatapku. Aku mengangguk sembari mengangkat kedua jempolku.
"Sebaiknya kita semua turun dari kendaraan. Pak Her akan memeriksa keadaannya," aku memberi komando. Kanaya melompat dari kursinya, nyaris terjatuh. Sedang Anggi dengan langkah tenang merekam adegan demi adegan. Seolah tengah membuat sekuel film.
"Anda mau coklat, Nyonya, El?" Anggi bicara padaku tanpa menoleh. Satu tangannya merogoh tas pinggang. Lalu menyodorkan coklat yang sudah tergigit ke arahku. Masih dengan berjalan mundur, ia memutar ponselnya ke segala arah.Â
"Ups! Kuskus!" suaranya tertahan. Dan ia memfokuskan kamera ponselnya ke arah sebuah pohon, tanpa mengindahkan anak tangga di pintu bus. Karena terlalu bersemangat, ia jatuh terpeleset.
"Kau tidak apa-apa?" aku membantunya berdiri. Mahasiswi berusia 21 tahun itu meringis seraya memegangi salah satu kakinya.
"Kukira---aku terkilir," ia mengeluh. Mister Fred melihat kejadian itu. Bule usia lanjut yang masih tampil bugar itu berjalan ke arah kami. Merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil.
"Minyak tawon asli. Oleh-oleh dari Makassar ketika aku melancong ke sana," Mister Fred tersenyum. Aku berjongkok, membantu menggosokkan minyak itu di sekitar kaki Anggi yang terlihat agak membengkak.
"Radiatornya bocor!" suara Pak Her mengalihkan perhatian kami. Aku gegas berdiri, menghampiri sopir tua yang memiliki riwayat penyakit jantung itu.Â