"I am sorry. Aku tadi menghabiskan dua kotak nasi sisa makan siang. Dan sekarang..."Â
"Anda bisa melakukannya di tempat darurat seperti ini, Mister?" aku was-was menatapnya.
"No problem!"
Tanpa menunggu kalimat perpisahan--atau apa namanya, pria bule itu bergegas meninggalkan kami.
Bersamaan itu terdengar bunyi motor mendekat.
"Siapa yang harus kubawa ke pondok terlebih dulu?" Pak Wito, penjaga hutan terdekat yang sempat kuhubungi--selain Beib, sudah datang. Dalam situasi seperti ini, tentu saja aku tidak boleh salah memilih orang. Kuputuskan Pak Wito membawa Kevin dan Ibunya terlebih dulu. Bocah itu butuh istirahat. Asmanya sedang kambuh.
"Bonceng dua sekaligus bisa, kan, Pak Wito? Sambil menunggu bantuan selanjutnya," aku menegaskan. Kukira tubuh kurus Kevin tidak menjadi soal. Demikian juga Nyonya Prita. Dia berpostur langsing.
"Kenapa bukan aku, Nyonya El?" Kanaya memprotes. Tangannya bergerak-gerak ke sana kemari. Sesekali matanya nanar menatap sekeliling.
"Kami masih ingin bersamamu, Kanaya. Mahluk di sekitar hutan ini takut sekali mendengar suaramu," ujarku menggodanya. Kanaya tercengang.
***
Waktu terus bergulir. Suasana hutan kian gelap dan mencekam. Pak Her pun sepertinya belum bisa menangani masalah radiator yang bocor.