Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Misteri Kematian di Bangku Taman

10 November 2018   16:45 Diperbarui: 15 Juli 2022   12:39 1469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miss Sherlick duduk di bangku taman yang terdapat di tengah kota. Dengan kedua kaki ditekuk lurus sejajar. Posisi badannya menghadap ke arah terbenam matahari.

Pada pahanya sebuah buku tebal dibiarkan dalam keadaan terbuka.

"Sudah mirip dengan gambaran perempuan yang tewas mengenaskan itu belum, Jhon?" Miss Sherlick berkata pelan tanpa menoleh. Jhon, sepupunya mengawasi seraya memegang dagunya sendiri. Lalu pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu berdehem.

Miss Sherlick mengubah sedikit posisi duduknya, dengan menangkupkan jari-jari lentiknya di atas lembar buku yang masih dibiarkan terbuka.

"Bagaimana kalau sekarang, Jhon? Sudah sesuaikah?"

Kali ini Jhon tidak berdehem. Melainkan berjalan lurus ke arah depan. Kemudian berhenti tepat di samping rerimbunan bunga-bunga.

Ia mengamati Miss Sherlick dari sana.

Sekitar lima belas menit bergeming bagai patung, mendadak Miss Sherlick memiringkan kepalanya ke kanan sedikit, beberapa inci.

"Cukup, Jhon! Peragaan kita sore ini kukira sudah cukup," Miss Sherlick berdiri. "Dan kupikir, sebaiknya aku mentratirmu minum kopi di kafe terdekat langganan kita."

***

Berita meninggalnya seorang perempuan muda di sebuah taman kota membuat Miss Sherlick dan Jhon menyempatkan diri datang ke lokasi kejadian perkara. Meski belum ada pemberitahuan resmi dari pihak kepolisian setempat mengenai penyebab kematian perempuan itu--masih harus menunggu hasil visum dokter, agaknya Miss Sherlick sudah menemukan sedikit titik terang.

Seraya menyeruput sedikit coffee white-nya yang masih panas, Miss Sherlick menyampaikan deduksi singkatnya kepada Jhon.

"Perempuan itu sengaja pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Itu menandakan bahwa dia memiliki janji dengan seseorang."

"Ya. Jam kerja perempuan itu seharusnya sampai pukul 16.30," Jhon menyela.

"Sebagai perempuan yang masih lajang, sangat aneh memilih sebuah taman yang sepi sebagai tempat pertemuan. Kecuali---jika pertemuan itu mengandung unsur rahasia," Miss Sherlick meletakkan cangkir kopinya perlahan di atas meja.

"Oh, ya, satu lagi, Jhon. Apa menurutmu ini bukan hal yang aneh? Seorang perempuan yang sama sekali tidak suka membaca tiba-tiba memangku sebuah buku tebal?" Miss Sherlick mengetuk-ngetukkan ujung jemarinya pada pinggang cangkir.

"Darimana kau tahu Nona itu tidak suka membaca?" kembali Jhon mengernyit alis.

"Buku tebal itu yang bicara padaku, Jhon," Miss Sherlick tertawa.

Meski tidak paham apa yang dimaksudkan sepupunya itu, Jhon akhirnya ikut tertawa juga.

***

Di ruang penyimpanan mayat, Miss Sherlick membuka kain penutup yang menyelimuti tubuh yang sudah membeku itu. Ia menyibaknya sedikit. Melihat bagian lututnya saja.

Setelah bicara beberapa menit dengan Inspektur Don Apole--polisi yang bertugas menangani kematian perempuan yang bekerja sebagai kasir di sebuah toko mainan anak-anak itu, Miss Sherlick pamit meninggalkan ruangan. Menemui Jhon yang tengah duduk di sebuah bangku, mengisap rokok terakhirnya.

"Hanya sedikit yang kudapatkan di sini Jhon. Kukira kita harus segera kembali ke taman kota itu," Miss Sherlick berjalan terburu-buru. Jhon bergegas mematikan puntung sigaretnya. Berdiri dengan sigap, lalu mengikuti langkah Miss Sherlick dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket.

Suasana taman sudah sepi. Lampu-lampu temaram mulai dinyalakan.

Miss Sherlick kembali ke bangku yang didudukinya sore tadi.

"Kau melakukan hal yang sama, Sherlick? Kupikir itu sungguh perbuatan---yang agak konyol," Jhon berdiri mengawasi tingkah laku sepupunya itu dengan pandang heran.

"Kau teruslah bicara, Jhon. Jangan menoleh ke belakang. Seseorang sedang mengawasi kita," Miss Sherlick pura-pura menjatuhkan sesuatu. Sembari membungkuk, ujung matanya menangkap bayangan seseorang tengah berjalan mengendap-endap di balik sebatang pohon.

"Apakah aku perlu mengeluarkan senjata, Sherlick?" Jhon bertanya pelan. Miss Sherlick mengedikkan bahunya sedikit.

Dan Jhon sangat paham apa arti kode itu.

***       

Jhon berhasil menangkap seorang pria yang mematai-matai mereka. Pria itu bertubuh kurus. Dengan wajah lonjong agak pucat.

Jhon membawa pria tersebut ke tempat Miss Sherlick duduk beberapa saat lalu.

"Bisa Anda menyebutkan nama? Kita bicara rileks saja, sebelum kami menyerahkan Anda ke kantor polisi dengan tuduhan..." Miss Sherlick menatap pria yang duduk meringkuk itu dengan sorot mata tajam.

"Saya Edward. Dan saya tidak membunuh perempuan itu!" pria kurus itu berteriak lantang.

Jhon dan Miss Sherlick saling berpandangan.

"Perempuan itu menelpon saya. Meminta bertemu dengan saya di sini. Ia membeli buku tanaman obat yang saya jual," pria bernama Edward itu menatap Miss Sherlick dan Jhon bergantian.

"Kukira apa yang dikatakannya benar, Jhon. Pria ini bukan pelakunya," Miss Sherlick memberi tanda ke arah sepupunya yang masih berdiri termangu dengan sebuah anggukan kecil.

"Lalu untuk apa ia mengendap-endap mengawasi kita?" Jhon terlihat ragu-ragu.

"Saya...hanya tidak percaya bahwa perempuan yang baru saja bertemu dengan saya itu tiba-tiba dikabarkan meninggal dengan tubuh mengejang seperti terkena racun," pria itu menggetar-getarkan kedua lututnya.

"Ricin!" Miss Sherlick tiba-tiba berseru lantang. Lalu menepuk pundak pria kurus itu dengan wajah dan senyum yang amat puas.

***

Sore yang cerah. Miss Sherlick duduk tenang menghadap ke arah jendela.

Sementara sepupunya, Jhon bersiap-siap untuk kembali ke apartemennya.

"Oh, ya, Sherlick. Sebelum aku pergi, tolong jelaskan, bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa Nona yang meninggal itu terbunuh oleh ricin."

Miss Sherlick tersenyum. Lalu ia mulai menjelaskan panjang lebar pada Jhon.

"Sewaktu menjenguk ke kamar mayat aku melihat kaki perempuan muda yang meninggal itu terdapat semacam penyakit kulit yang sudah akut. Kukira itu penyebab mengapa ia membeli buku tanaman obat dari pria kurus bermuka pucat itu.

Selanjutnya Nona itu membaca buku tebal yang dibelinya itu dan mempelajarinya dengan seksama. Sampai kemudian ia menemukan artikel jenis tananam obat bernama latin ricinus communis. Ia sangat tertarik. Lalu ia menutup bukunya sebentar, dan tanpa sengaja matanya tertumbuk pada salah satu tanaman yang tumbuh di sekitar taman kota itu. Ia berdiri lalu mencocokkan dengan foto yang ada di dalam buku yang dibacanya. Amat mirip! Tentu saja ia sangat gembira.

Perempuan itu memetik beberapa lembar daun tanaman yang diketemukannya itu. Termasuk biji-bijinya sekalian.

Kemudian ia kembali duduk di bangkunya semula, melanjutkan membaca. Tanpa sadar ia menggigiti biji-biji tanaman itu. Mengunyah-ngunyahnya--dan, kau tahu, Jhon? Ricin  adalah sejenis racun yang amat mematikan!"

***

Malang, 10 Novenber 2018

Lilik Fatimah Azzahra

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun