"Oh, aku tidak apa-apa. Untung aku tidak menabrakmu. Aku tadi mengendarai motor sambil melamun," aku berkilah senang.
"Loh, memang Mas-nya melamunkan apa?" gadis itu tersenyum, menggodaku. Duh, senyum itu, membuatku gelagapan. Dua lesung pipinya terlihat. Manis sekali.
 "Ya, sudah. Kalau Mas-nya tidak apa-apa, Sri mau melanjutkan mencari kayu di hutan."
Belum sempat aku menjawab, gadis itu sudah berlalu meninggalkanku.
***
Motor meraung memasuki pekarangan rumah Simbah Putri yang luas. Kulihat perempuan sepuh itu tengah duduk di sebuah bangku memberi makan ayam-ayam yang berkeliaran.
Mendengar deru motorku, Simbah Putri menoleh. Serta merta diletakkannya bakul berisi nasi aking di tangannya begitu saja. Kaki tuanya tertatih menyongsongku.
"Pras! Piye tho, Le. Kok ndak  kasih kabar kalau mau datang," Simbah mengulurkan tangan keriputnya. Merangkul leherku dan mencium lembut pipiku yang dingin. Bau harum susur  kinang tercium dari mulutnya.
"Nanti kalau dikasih kabar Simbah malah repot-repot menyiapkan ini-itu." Aku balas mencium pipi Simbah. Lalu kami berjalan beriringan menuju rumah.
Ada yang membuatku terheran-heran. Meski tinggal seorang diri, rumah Simbah Putri tetap terlihat rapi dan bersih. Perabot rumah yang terpajang di ruang tamu tak satu pun yang dihinggapi debu.
Saat mengambil air minum di ruang tengah, pandanganku tertuju ke arah dapur.