Sampai detik ini Simbah Putri masih bersikeras tidak mau membongkar tungku yang terbuat dari tanah liat itu. Tungku berbentuk gua mini yang bagian tepinya sudah gupil  di sana-sini termakan usia. Tungku itu dibuat oleh almarhum Simbah Kakung ketika masih muda.
"Tungku ini ibarat sebuah rumah. Dan setiap rumah pasti memiliki penghuni. Membongkar tungku ini sama halnya dengan mengusir penghuninya. Dan itu merupakan perbuatan jahat, semena-mena," Simbah berkata serius. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa diam. Pasrah. Tidak mungkin memaksakan kehendak terhadap Simbah. Percuma. Sebab Simbah Putri itu orangnya keras, sangat sulit dipengaruhi.
Bahkan saat aku membelikannya kompor gas yang hemat energi, Simbah Putri sama sekali tidak mau menyentuhnya.
"Berikan saja kompor itu kelak kepada calon istrimu."
***
Minggu ini aku mendapat cuti beberapa hari dari kantor tempatku bekerja. Kebetulan sudah lama aku tidak menginap di rumah Simbah. Aku merindukan nasi jagung dan pepes teri pedas buatan tangan Simbah sendiri.
Siang itu juga dengan mengendarai motor aku meluncur melewati jalanan yang mengular di sepanjang kaki bukit. Rumah Simbah memang berada di balik bukit, lumayan jauh dari tempat tinggalku. Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai ke sana.
Aku sengaja tidak mengabari kedatanganku kepada Simbah. Aku bermaksud memberinya kejutan.
Jajaran pohon cemara daunnya melambai-lambai tertiup angin, seolah menyambutku. Udara siang yang gerah berubah sejuk manakala motor mulai menanjak di ketinggian.
Di tikungan jalan berkelok mendadak seseorang melintas, membuatku terkejut. Aku menginjak rem sekuat tenaga dan akibatnya aku hilang keseimbangan. Motorku terjungkal.
"Mas-nya tidak apa-apa?" seorang gadis. Cantik. Berkata lembut. Membuat ngilu dan nyeri pada kakiku yang lecet seketika sirna. "Maafkan Sri, Mas. Mungkin Sri yang jalannya meleng...."
"Oh, aku tidak apa-apa. Untung aku tidak menabrakmu. Aku tadi mengendarai motor sambil melamun," aku berkilah senang.
"Loh, memang Mas-nya melamunkan apa?" gadis itu tersenyum, menggodaku. Duh, senyum itu, membuatku gelagapan. Dua lesung pipinya terlihat. Manis sekali.
 "Ya, sudah. Kalau Mas-nya tidak apa-apa, Sri mau melanjutkan mencari kayu di hutan."
Belum sempat aku menjawab, gadis itu sudah berlalu meninggalkanku.
***
Motor meraung memasuki pekarangan rumah Simbah Putri yang luas. Kulihat perempuan sepuh itu tengah duduk di sebuah bangku memberi makan ayam-ayam yang berkeliaran.
Mendengar deru motorku, Simbah Putri menoleh. Serta merta diletakkannya bakul berisi nasi aking di tangannya begitu saja. Kaki tuanya tertatih menyongsongku.
"Pras! Piye tho, Le. Kok ndak  kasih kabar kalau mau datang," Simbah mengulurkan tangan keriputnya. Merangkul leherku dan mencium lembut pipiku yang dingin. Bau harum susur  kinang tercium dari mulutnya.
"Nanti kalau dikasih kabar Simbah malah repot-repot menyiapkan ini-itu." Aku balas mencium pipi Simbah. Lalu kami berjalan beriringan menuju rumah.
Ada yang membuatku terheran-heran. Meski tinggal seorang diri, rumah Simbah Putri tetap terlihat rapi dan bersih. Perabot rumah yang terpajang di ruang tamu tak satu pun yang dihinggapi debu.
Saat mengambil air minum di ruang tengah, pandanganku tertuju ke arah dapur.
Tungku itu---masih ada di sana.
"Tadi, pagi-pagi sekali Sri sudah menemani Simbah bersih-bersih rumah dan menanak nasi jagung. Sepertinya ia tahu kalau kamu akan datang."
"Sri?" aku menatap Simbah tak berkedip. Antara girang dan penasaran. Simbah menatapku sejenak. Lalu mengangguk. Aku meletakkan gelas minum dan membimbing Simbah duduk di kursi. Ada yang ingin kutanyakan padanya.
"Sri gadis berlesung pipit itu, Mbah?"
Simbah mengangguk lagi.
"Dia cantik sekali Mbah...cocok jadi calon cucu mantu," aku mengedipkan sebelah mata. Simbah tertawa.
"Aku memanggilnya Sri. Kalau nama aslinya sih..." Simbah memutar sejenak susur  kinang di mulutnya.
"Dewi Sri?" aku menyela, asal tebak. Simbah menggeleng.
"Nama aslinya Nini Thowok."
"Nini Thowok?" aku mencondongkan wajah.
"Iya, Nini Thowok. Mahluk halus penghuni tungku itu," tangan Simbah menunjuk ke arah tungku di dapur yang apinya nyaris padam.
Seketika bulu kudukku meremang.
"Sri! Bantuin Simbah menyalakan apinya lagi, ya, Nduk. Â Aku mau menjerang air untuk membuatkan kopi Prastowo, cucuku yang baru datang ini."
Tiba-tiba, bluuuph!
Api di dalam tungku menyala sendiri.
***
Malang, 07 Nopember 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H