Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kambing untuk Abah

2 September 2017   08:48 Diperbarui: 5 September 2017   20:38 1190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : penyebab bulu rontok pada domba dan kambing /www.jualansapi.com

Usai sholat subuh Abah masuk ke dalam kamarku. Membangunkanku dan menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu seraya berkata, "Ahmad, tolong carikan Abah seekor kambing kurban yang gemuk dan sehat, ya."

Aku mengangguk, meraih jaket dan kopiah yang tersampir di belakang pintu. Aku harus segera melaksanakan perintah Abah. Mumpung hari masih pagi.

Aku berjalan melenggang menuju pasar hewan yang berjarak sekitar tiga kilo meter dari rumahku. Aku sengaja berjalan kaki dengan tujuan supaya lebih mudah membawa pulang kambing pesanan Abah.

Sepanjang jalan aku sempat berpikir tentang Abah. Abah selalu melaksanakan kurban di setiap Idhul Adha. Hampir tidak pernah absen. Abah rajin mengumpulkan uang sedikit demi sedikit yang disimpannya di dalam celengan bekas kaleng biskuit. Celengan itu diletakkannya di bawah kolong tempat tidur.

Apa yang dilakukan Abah sebenarnya membuatku merasa malu. Ya, aku malu pada diriku sendiri. Abah hanya seorang penjahit rumahan. Pendapatannya tidak seberapa banyak dan tidak bisa dipastikan. Tapi beliau masih bisa mengumpulkan uang untuk persiapan Idhul Qurban. Sedang aku, yang sudah memiliki gaji tetap sebagai seorang karyawan pabrik, sejauh ini ini masih juga belum mampu melaksanakan perintah kurban. Aku selalu lalai. Uang tabunganku tak pernah cukup untuk membeli seekor kambing---bahkan kambing bertubuh kurus sekalipun.

"Yang penting niatkan dulu untuk ibadah, Ahmad. Nanti juga pasti bisa," begitu Abah selalu berpesan padaku. Tapi pesan itu selalu terabaikan. Kesibukanku yang menyita waktu, kebutuhanku yang seolah tiada habisnya, membuatku selalu kehilangan kesempatan untuk menyisihkan uang.

Pasar hewan yang kudatangi ternyata sudah ramai. Beberapa orang blantik tampak wira-wiri sibuk menawarkan kambing-kambing dagangan mereka. Sebelum menentukan pilihanku mencari kambing sesuai dengan pesanan Abah, aku duduk di atas bangku kayu yang berada di bawah pohon ceri yang tumbuh tak jauh dari pasar hewan itu.

"Mencari kambing untuk kurban, Nak?'seorang lelaki sepuh menghampiriku. Ia memakai baju dan celana kumal. Tubuhnya kurus dan dekil. Kupikir ia salah seorang dari blantik-blantik itu.

"Masih ingin melihat-lihat dulu, Pak," aku menyahut ringan seraya mengeluarkan sebatang rokok dari saku jaketku, lalu menyalakan pemantik api dan mengembuskan asap rokok perlahan untuk mengurangi hawa dingin.

Laki-laki sepuh itu mendekat dan duduk di sebelahku.

"Idhul Qurban kali ini agak sepi," laki-laki itu bergumam. Matanya yang kuyu menatap ke arah kambing-kambing yang tengah asyik menikmati rumput.

"Bapak blantik juga di sini?"  aku berbasa-basi.

"Bukan, Nak. Aku hanya buruh pencari rumput."

"Oh," seketika aku mematikan rokok di tanganku. Mataku mengamati lelaki tua yang duduk di sebelahku itu dengan seksama.

"Di sini, selain sebagai buruh penyabit rumput, aku juga dipercaya menjaga kambing-kambing milik juragan Ali," laki-laki itu melanjutkan perkataannya. Aku masih belum melepas pandang dari laki-laki sepuh itu. Guratan wajah tuanya mengingatkanku pada Abah. Kukira usia lelaki ini tidak terpaut jauh dari usia Abah. Lebih tua sedikit.

"Kebetulan sekali kalau begitu, Bapak pasti bisa membantu saya mencarikan kambing yang gemuk dan sehat sesuai dengan pesanan Abah," aku tersenyum. Laki-laki itu mengangguk.

"Kambing-kambing milik juragan Ali, kondisinya bagus-bagus, Nak. Aku telaten merawatnya. Aku menambatkan mereka di lapangan sebelah sana," laki-laki itu beringsut sedikit dari duduknya dan menunjuk ke satu arah dengan jari-jari tangannya yang kurus.

"Baiklah, Pak. Saya akan membeli seekor kambing milik juragan Bapak," aku  berdiri. Laki-laki itu berdehem. Kemudian ia ikut berdiri dan berjalan menuju lapangan pasar paling ujung. Aku mengikutinya.

Ternyata kambing-kambing yang dijaga oleh lelaki sepuh itu cukup banyak. Ada puluhan ekor. Ia benar. Kondisi kambing-kambing itu cukup baik. Tampak gemuk-gemuk dan sehat. Kecuali seekor kambing yang ditambatkan agak terpisah.

"Kambing kurus milikku, Nak. Aku mengumpulkan upahku dari juragan Ali untuk membelinya. Kemampuanku hanya sampai di situ. Aku ingin menitipkannya di Mushola terdekat untuk kurban," laki-laki itu menjelaskan tanpa kuminta. Wajahnya terlihat berseri-seri.

Akhirnya setelah memilih-milih, aku menemukan seekor kambing gemuk dan sehat sesuai dengan pesanan Abah.

"Berapa harga kambing ini, Pak?" tanyaku seraya merogoh saku jaketku. Lelaki sepuh itu menyebutkan angka nominal yang harus kubayar. Sejenak aku tertegun.

"Astagfirullah, uang saya hilang, Pak! Mungkin terjatuh di jalan!" aku berseru panik. Tanganku berulang kali merogoh saku jaket. Tapi uang pemberian Abah tak juga kutemukan. Bagaimana ini? Abah bisa memarahiku. 

Laki-laki sepuh di hadapanku itu menatapku. Ia terlihat ikut prihatin. Tubuhku tiba-tiba saja terasa lunglai.

"Bagaimana saya harus menghadapi Abah?" aku bergumam sendiri. Laki-laki itu mendekat dan menyentuh pundakku.

"Nak, kau boleh membawa pulang kambing kurusku itu untuk Abahmu."

"Tapi, Pak...saya tidak punya uang untuk menggantinya."

"Tidak apa-apa. Kau bisa membayarnya kapan-kapan kalau kau sudah punya uang."

Aku terdiam. Pikiranku bingung. Antara menerima tawaran dari laki-laki sepuh itu atau pulang dengan tangan kosong dan siap dimarahi Abah.

Akhirnya aku menjatuhkan pilihan. Menerima tawaran lelaki sepuh itu. Aku tidak ingin mengecewakan Abah.

"Saya akan segera membayar kambing milik Bapak begitu gajian bulan depan," janjiku pada laki-laki sepuh itu. Laki-laki itu mengangguk. Ia membantu melepaskan tali yang tertambat pada tonggak yang menancap di tanah. Lalu menuntun kambing kurus itu dan menyerahkan padaku.

"Siapa nama Bapak?" aku bertanya pelan.

"Sebut saja Pak tua. Kau bisa menemuiku kapan saja di tempat ini," ia menjawab tenang.

Aku berterima kasih, lalu pulang ke rumah dengan perasaan gamang.

***

Di pintu pagar, Abah sudah menyongsong kedatanganku. Tanpa memedulikan kambing kurus yang berusaha kusembunyikan di balik rerimbunan tanaman, Abah langsung menegurku, "Ahmad, kau meninggalkan uang pemberian Abah di atas meja kamarmu. Kau lupa membawanya."

Deg. Mataku seketika melirik ke arah kambing kurus yang mulai asyik mengunyah pucuk dedaunan yang tumbuh liar di dekat pagar. Abah mendekat dan menyerahkan lembar uang yang tertinggal ke arahku.

"Abah, saya harus kembali ke pasar hewan. Kambing ini harus kukembalikan kepada pemiliknya," aku segera menarik tali yang mengikat leher kambing kurus itu. Kambing itu sedikit membelot.

Pagi ini aku mesti bolak balik menuju pasar hewan hingga keringat bercucuran membasahi keningku.

Sesampai di pasar hewan, mataku mencari-cari sosok tua pemilik kambing kurus yang sesekali mengembik itu. Tapi hingga matahari mulai terik, tak juga kutemukan keberadaannya.

Seorang pemuda, petugas jaga pasar hewan berjalan menghampiriku.

"Ada yang bisa aku bantu, Mas?" pemuda itu bertanya. Aku mengangguk.

"Apa sampean kenal seorang laki-laki tua yang bekerja sebagai penyabit rumput dan dipercaya menjaga kambing-kambing milik juragan Ali yang berada di ujung pasar itu?"

Pemuda itu mengernyit alis. Lalu menatapku tak berkedip.

"Tidak ada blantik bernama juragan Ali. Kambing-kambing di ujung pasar itu milik Haji Rahman," pemuda itu menyahut. Aku tertegun.

"Kenapa Mas? Atau jangan-jangan Mas-nya sudah didatangi oleh beliau, ya..." pemuda itu berbisik pelan.

"Didatangi beliau? Apa maksud sampean?"

"Nabi Khidir Mas. Beliau setiap tahun muncul di sini, di pasar hewan ini, hanya sekali untuk menemui orang-orang yang memang ingin ditemuinya," pemuda itu tersenyum.

Aku terdiam. Aku pernah mendengar dongeng kisah Nabi Khidir ini dari Abah. Tapi tidak pernah berpikir sampai benar-benar bisa bertemu dengannya.

"Kambing kurus itu pasti pemberian dari beliau, ya?" pemuda itu melirik kambing yang menggelendot di sebelahku. Sekali lagi aku mengangguk.

"Itu rezekimu, Mas. Setiap tahun, di bulan Idhul Adha seperti ini selalu ada yang kebagian rezeki dari beliau. Jadi, Mas boleh membawa pulang kembali kambing itu."

Aku semakin tertegun. Setengah tidak percaya dengan apa yang telah aku alami. Tapi kemudian aku teringat perintah Abah. Ah, ya, aku harus segera mencarikan kambing gemuk dan sehat untuk Abah.

Hari itu aku pulang ke rumah membawa dua ekor kambing. Kurus dan gemuk.

Tapi untuk si kambing kurus, masih ada waktu membuatnya gemuk bukan?

***

Malang, 02 September 2017

Lilik Fatimah Azzahra

*Mengucapkan selamat Hari Raya Idhul Adha 1438 H. Mohon maaf lahir dan batin...^_^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun