"Astagfirullah, uang saya hilang, Pak! Mungkin terjatuh di jalan!" aku berseru panik. Tanganku berulang kali merogoh saku jaket. Tapi uang pemberian Abah tak juga kutemukan. Bagaimana ini? Abah bisa memarahiku.Â
Laki-laki sepuh di hadapanku itu menatapku. Ia terlihat ikut prihatin. Tubuhku tiba-tiba saja terasa lunglai.
"Bagaimana saya harus menghadapi Abah?" aku bergumam sendiri. Laki-laki itu mendekat dan menyentuh pundakku.
"Nak, kau boleh membawa pulang kambing kurusku itu untuk Abahmu."
"Tapi, Pak...saya tidak punya uang untuk menggantinya."
"Tidak apa-apa. Kau bisa membayarnya kapan-kapan kalau kau sudah punya uang."
Aku terdiam. Pikiranku bingung. Antara menerima tawaran dari laki-laki sepuh itu atau pulang dengan tangan kosong dan siap dimarahi Abah.
Akhirnya aku menjatuhkan pilihan. Menerima tawaran lelaki sepuh itu. Aku tidak ingin mengecewakan Abah.
"Saya akan segera membayar kambing milik Bapak begitu gajian bulan depan," janjiku pada laki-laki sepuh itu. Laki-laki itu mengangguk. Ia membantu melepaskan tali yang tertambat pada tonggak yang menancap di tanah. Lalu menuntun kambing kurus itu dan menyerahkan padaku.
"Siapa nama Bapak?" aku bertanya pelan.
"Sebut saja Pak tua. Kau bisa menemuiku kapan saja di tempat ini," ia menjawab tenang.