"Bapak blantik juga di sini?" Â aku berbasa-basi.
"Bukan, Nak. Aku hanya buruh pencari rumput."
"Oh," seketika aku mematikan rokok di tanganku. Mataku mengamati lelaki tua yang duduk di sebelahku itu dengan seksama.
"Di sini, selain sebagai buruh penyabit rumput, aku juga dipercaya menjaga kambing-kambing milik juragan Ali," laki-laki itu melanjutkan perkataannya. Aku masih belum melepas pandang dari laki-laki sepuh itu. Guratan wajah tuanya mengingatkanku pada Abah. Kukira usia lelaki ini tidak terpaut jauh dari usia Abah. Lebih tua sedikit.
"Kebetulan sekali kalau begitu, Bapak pasti bisa membantu saya mencarikan kambing yang gemuk dan sehat sesuai dengan pesanan Abah," aku tersenyum. Laki-laki itu mengangguk.
"Kambing-kambing milik juragan Ali, kondisinya bagus-bagus, Nak. Aku telaten merawatnya. Aku menambatkan mereka di lapangan sebelah sana," laki-laki itu beringsut sedikit dari duduknya dan menunjuk ke satu arah dengan jari-jari tangannya yang kurus.
"Baiklah, Pak. Saya akan membeli seekor kambing milik juragan Bapak," aku  berdiri. Laki-laki itu berdehem. Kemudian ia ikut berdiri dan berjalan menuju lapangan pasar paling ujung. Aku mengikutinya.
Ternyata kambing-kambing yang dijaga oleh lelaki sepuh itu cukup banyak. Ada puluhan ekor. Ia benar. Kondisi kambing-kambing itu cukup baik. Tampak gemuk-gemuk dan sehat. Kecuali seekor kambing yang ditambatkan agak terpisah.
"Kambing kurus milikku, Nak. Aku mengumpulkan upahku dari juragan Ali untuk membelinya. Kemampuanku hanya sampai di situ. Aku ingin menitipkannya di Mushola terdekat untuk kurban," laki-laki itu menjelaskan tanpa kuminta. Wajahnya terlihat berseri-seri.
Akhirnya setelah memilih-milih, aku menemukan seekor kambing gemuk dan sehat sesuai dengan pesanan Abah.
"Berapa harga kambing ini, Pak?" tanyaku seraya merogoh saku jaketku. Lelaki sepuh itu menyebutkan angka nominal yang harus kubayar. Sejenak aku tertegun.