Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Jejak Sang Penari [15] Tamat

17 Agustus 2017   12:08 Diperbarui: 23 Agustus 2017   18:12 2189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgrum.org/user/christianwalpole

Kisah sebelumnya http://www.kompasiana.com/elfat67/599245f1980208041236da32/novel-jejak-sang-penari-14

Bag.15-Akhir Sebuah Kisah

Pagi yang cerah. Bapa Made menemaniku menjenguk Ibu ke rumah tahanan sementara. Kami hanya pergi berdua. Papi menolak untuk ikut, seperti yang pernah ia katakan, Papi ingin menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan lukisannya yang belum rampung.

Ibu muncul menemui kami di ruang khusus para pembesuk.

"Bli, Minggu depan sidang kasusku akan digelar. Doakan lancar,  ya," Ibu duduk menjejeri kami.

"Tentu, Ni. Semoga hukumanmu tidak terlalu berat. Aku sudah berusaha meminta batuan seorang pengacara," Bapa Made menyahut.

"Aku selalu merepotkanmu, Bli. Selalu," Ibu berkata lirih.

Suasana tiba-tiba hening.

"Mengapa laki-laki bernama Julian itu begitu dendam terhadap Papi?" tanyaku hati-hati. Rasa penasaran yang kupendam dalam hati akhirnya kukeluarkan juga. Bapa Made dan Ibu saling bersitatap. Sesaat kemudian kulihat Ibu mengangguk.

"Sudah saatnya menceritakan rahasia kecil itu, Bli," Ibu membetulkan letak duduknya. Bapa Made menghela napas sebentar.

"Baiklah, Nak. Ni Kadek sudah mengizinkan aku menceritakan rahasia kecil itu. Kuharap kau bersedia menyimaknya baik-baik."

Aku mengangguk.

"Ini tentang cinta bertepuk sebelah tangan, Jansen. Pieter dan Julian adalah teman baik. Mereka berangkat dari Amsterdam berdua menuju Indonesia," Bapa Made mulai bertutur. 

"Julian jatuh cinta kepada Ni Kadek, sama seperti Pieter. Tapi Ni Kadek lebih memilih Pieter. Ia menolak cinta Julian--- secara baik-baik.

Tapi penolakan Ni Kadek membuat Julian menyimpan dendam terhadap Pieter. Julian kembali ke Amsterdam dengan hati yang terluka. Apalagi saat mengetahui Ni Kadek dan Pieter akhirnya menikah.

Suatu hari, ketika itu umurmu baru menginjak lima tahun, Julian datang berkunjung ke Bali menemui Pieter. Entah apa yang dikatakan laki-laki itu sehingga Pieter tampak sangat marah terhadap Ni Kadek Resti. Pieter lantas memutuskan untuk membawamu pergi ke Amsterdam meninggalkan Bali.

Ni Kadek sangat bingung dan terkejut mendengar keputusan Pieter. Dia sangat menyayangi kalian. Apalagi terhadapmu, Jansen. Sejak kecil kau itu sering sakit-sakitan. Kau menderita sakit jantung bawaan sejak lahir. Tentu saja Ni Kadek berusaha agar Pieter berubah pikiran, tidak membawamu pergi.

Ni Kadek Resti datang mengadu kepadaku perihal kemarahan Pieter yang dianggapnya tidak beralasan. Pieter sama sekali tidak menyebutkan apa kesalahan yang telah diperbuat Kadek sehingga ia memutuskan membawamu pergi. Pieter hanya mengatakan, jika Kadek menyayangi Jansen dan dirinya, maka Ni Kadek harus ikut ke Amsterdam.

Tentu saja Ni Kadek menolak. Meski dalam hati ia sangat ingin. Ia tahu, keluarga besarnya tidak mungkin mengizinkannya pergi. Kadek tidak ingin semakin dikucilkan. Tapi Pieter tampaknya tersinggung dengan keputusan Ni Kadek.

Kala itu aku terlambat mencegah kepergian Pieter. Saat Ni Kadek mengadu padaku, ternyata Pieter sudah pergi. Maka kuputuskan untuk menyuratinya. Kutanyakan masalah mereka. Pieter tidak pernah membalas suratku. Tapi aku tidak menyerah. Kutemui Julian yang masih berkeliaran di Bali untuk mengorek keterangan darinya.

"Pieter itu pengecut! Ia layak menerimanya," tukas Julian saat kutemui di penginapannya.

"Apa maksudmu?" aku menatapnya tidak mengerti.

"Bli Made, pernahkah cintamu ditolak mentah-mentah oleh seorang perempuan?" Julian membalas tatapanku tajam. Aku menggeleng.

"Pantas saja," dia mencibir. Wajahnya yang putih menegang. Otot-otot rahangnya menonjol keluar.

"Pieter harus kuhancurkan! Dia telah merampas Ni Kadek dariku!" suaranya bergetar penuh kebencian.

"Kau tidak bisa memaksa Ni Kadek menerima cintamu, Julian. Kau bertindak jahat jika nekat melakukannya," aku mengingatkannya. Tapi kelihatannya Julian tidak mau mendengarku.

"Lalu apa yang kau katakan pada Pieter sehingga ia pergi meninggalkan istrinya?" aku mulai bisa membaca pikiran licik laki-laki di hadapanku itu.

"Aku puas bisa membuat laki-laki brengsek itu meninggalkan Ni Kadek!" Julian terkekeh. Wajahku mulai memerah. Ingin sekali aku meninjunya saat itu juga.

"Cepat katakan  padaku, apa yang kau ucapkan pada Pieter?" nada suaraku mulai meninggi.

"Tenang, Bli Made, aku hanya mengatakan hal sepele. Aku bilang kepada Pieter, mm...sebelum menjadi istrinya, aku telah merenggut keperawanan Ni Kadek," laki-laki itu terkekeh lagi.

"Kau!" aku menggeram.

"Dan Pieter bodoh pencemburu itu percaya begitu saja terhadap omong kosongku," Julian menatapku santai. Sorot matanya menyiratkan kepuasaan. Aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku merangsek maju, dan kulayangkan tinjuku bertubi-tubi ke wajahnya yang putih itu.

Julian terjengkang. Ia mengerang sebentar. Kutambahkan satu pukulan lagi. Kali ini ia tidak sempat mengerang. Ia tersungkur di lantai.

Aku puas melihatnya. Kutinggalkan ia dalam keadaan pingsan.

Suatu hari datang surat dari Pieter untukku. Tapi isinya sangat menyedihkan. Dalam suratnya Pieter mengatakan ia ingin menceraikan Ni Kadek Resti. Aku tidak membalas suratnya itu.

Beberapa Minggu kemudian, datang surat yang kedua. Pieter benar-benar menceraikan Ni Kadek Resti.

Apa yang harus aku katakan kepada sepupuku itu? Melihat kondisi Ni Kadek yang kian memburuk akibat terserang paru-paru basah, aku tidak sampai hati mengatakannya. Saat Ni Kadek bertanya padaku, aku hanya bilang telah kehilangan kontak dengan Pieter.

Lain halnya Julian, laki-laki itu masih juga berkeliaran di Bali. Setiap hari dia membayangi dan meneror Ni Kadek. Sepupuku itu jadi semakin menderita. Julian hanya takut terhadapku. Jadi setiap hari aku harus menjaga Ni Kadek.

Suatu hari, di tahun kelima kepergian Pieter, aku menemui Ni Kadek Resti di rumah kontrakannya.

"Ni, aku sarankan kau menikah lagi. Supaya ada yang menjagamu," kataku bersungguh-sungguh. Meski sebenarnya Ni Kadek agak keberatan dengan saranku, tapi dia mencoba untuk mengerti.

"Baiklah, Bli, aku juga sudah lelah menunggu kabar yang tak kunjung datang dari Pieter. Sedangkan Bli Made tak mungkin menjagaku terus menerus," Ni Kadek menyahut murung.    

Kemudian Ni Kadek menikah dengan laki-laki bernama Nyoman Sukrawan, seorang pelatih kebugaran. Pada awalnya pernikahan mereka berjalan baik-baik saja. Tapi Julian yang terlanjur sakit hati. Ia terus menerus berupaya membuat hidup Ni Kadek tidak tenang.

Laki-laki asing itu secara berkala berkunjung ke Bali hanya untuk meneror Ni Kadek. Sungguh aku merasa heran. Mengapa ada orang berkepribadian seperti itu. Dan anehnya, ia selalu berhasil menemukan keberadaan Ni Kadek di mana pun sepupuku itu tinggal.

Julian merasa mendapat angin ketika mengetahui Nyoman Sukrawan dirawat di Rumah Sakit. Julian mendatangi Nyoman Sukrawan dan kembali memfitnah. Ia mengatakan bahwa Ni Kadek Resti mengidap penyakit HIV. Dan penyakit itu tertular dari mantan suaminya yang berkebangsaan asing. Nyoman Sukrawan yang temperamen itu dengan mudah dipengaruhi oleh Julian. Nyoman Sukrawan menginterogasi Ni Kadek. Ni Kadek mengakui bahwa ia memang pernah menikah dengan laki-laki asing yang berasal dari Belanda.

Dari pengakuan istrinya itu, Nyoman Sukrawan semakin yakin bahwa dia terinfeksi virus HIV. Laki-laki itu sepertinya mengidap hipokondria, ketakutan berlebihan terhadap suatu penyakit. Itulah sebabnya terjadi pertengkaran hebat saat ia dirawat di Rumah Sakit. Kebetulan saat itu kita juga sedang berada di sana. Ketika kamu opname itu, Jansen.

Ketika kalian mengajakku untuk mengejar laki-laki yang wajahnya tertutup selendang itu, aku sebenarnya sudah mengetahui identitasnya. Karena sejak awal memang akulah yang menyuruh agar Ni Kadek menyamar sebagai laki-laki. Demi keselamatan dia dari kejaran Julian yang tidak pernah berhenti."

Bapa Made menyudahi kisahnya. Ia kembali menghela napas.

"Sekarang kamu sudah mengetahui semuanya, Nak. Pencarianmu sudah berakhir," Bapa Made menatapku tak berkedip.

Aku diam termangu.

Jam berkunjung telah habis. Seorang petugas menghampiri kami. Petugas itu memberi isyarat dengan anggukan kecil.  Kami paham, kami harus segera mengakhiri pertemuan dengan Ibu.

Sebelum pergi mengikuti petugas meninggalkan ruangan, Ibu berdiri dan menatap Bapa Made sesaat.

"Bli, aku memutuskan untuk berpisah dari Nyoman Sukrawan. Aku tidak bisa hidup dalam kecurigaan terus menerus," suara Ibu tercekat.

"Aku menghargai keputusanmu, Ni. Maafkan atas saranku dulu. Ternyata menikah lagi tidak membuatmu bahagia," Bapa Made membalas tatapan Ibu.

"Ini sudah takdirku, Bli. Aku banyak berhutang budi padamu....

***

Papi sedang menikmati udara siang di teras penginapan ketika aku datang. Wajahnya tampak berkeringat dan memerah.

"Bali membuatku gerah, Jansen. Papi rindu Amsterdam," ujarnya seraya menggerak-gerakkan kesepuluh jemari tangannya.

"Sepertinya---aku juga, Pi," sahutku bersungguh-sungguh.

"Itu berarti kita harus segera meninggalkan Bali, Zoon," Papi menatapku. Agak ragu aku mengangguk. Tapi kemudian aku ingat, visa kunjungan kami hampir habis. Aku dan Papi mau tidak mau harus kembali ke Amsterdam.

Di akhir bulan Juli yang mendung.

Burung besi kembali membawa kami terbang meninggalkan Bali. Ada perasaan berat yang tertinggal. Tapi aku sudah berjanji kepada Ibu, liburan mendatang aku pasti akan datang menemuinya lagi.

***

Empat bulan berselang....

November tersapu gerimis.

Seorang laki-laki memasuki ruang tahanan khusus perempuan dengan wajah murung. Tidak seperti biasanya, ia bertemu penghuni tahanan itu di sebuah ruang khusus perawatan.

"Bli  Made, aku tahu umurku tidak lama lagi..." suara serak perempuan yang terbaring lemah di atas tempat tidur membuat dadanya terasa sesak.

"Ni, kau bertahanlah. Kuatkan dirimu. Liburan yang akan datang anakmu akan berkunjung ke mari lagi," laki-laki itu berusaha menghibur.

"Bli, aku kira umurku tidak akan sampai. Tapi aku senang, sudah diberi kesempatan bertemu anakku."

"Ni."

"Terima kasih, Bli. Kau tidak memberi tahu penyakitku yang sebenarnya. Anak itu bisa gusar dan kecewa jika tahu Ibunya mengidap penyakit memalukan itu...."

"Ni...."

"Bli, kelak jika mereka datang menemuiku, katakan aku sangat menyayangi keduanya. Pieter cinta sejatiku, Jansen permata hatiku. Berjanjilah untuk mengatakannya, ya, Bli..."  napas perempuan itu mulai tersengal.

"Ni, aku pasti akan mengatakannya. Sekarang kau beristirahatlah."

"Bli..." perempuan itu tersenyum samar. Pandangannya mulai kabur. Ia hanya bisa melihat kabut berwarna putih berputar-putar di sekitarnya. Lalu kabut itu secara perlahan mengangkat tubuhnya yang ringkih.

Ia menggigil. Sejenak.

Lalu semua diam.

***

Laki-laki bernama Made itu menaburkan bunga kamboja di atas pusara yang tanahnya belum mengering. Angin membawa aroma wangi bunga berwarna kuning itu sampai ke negeri yang jauh.

Jansen---tiba-tiba saja ia seperti melihat Ibunya menari-nari, meliuk indah di depan matanya. 

Jansen tersenyum. 

Di atas pembaringan Rumah Sakit, bocah usia tujuh belas tahun lebih empat bulan itu menata napas satu-satu. Pandangannya mulai kabur. Sebelum semuanya menjadi gelap, ia menggerakkan bibirnya "Ibu, maafkan aku, liburan mendatang aku tidak bisa menemuimu. Tuhan ternyata lebih sayang padaku...."

Pieter---lelaki tua itu, ia ikhlas mengantar kepergian Jansen. Tanpa air mata.

Tamat

***

Malang, 17 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

*Selamat Merayakan HUT Kemerdekaan RI ke 72, Dirgahayu Indonesiaku

*Novel ini special to Jonathan...cinta Eleanor tak pernah mati ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun