“Roy, kita tidak tahu rencana Tuhan. Pertolongan bisa datang dari mana saja. Yang terpenting jangan pernah putus asa dan terus berdoa,” Ibu pengasuh menepuk punggung tanganku dengan lembut. Memberiku semangat.
Yah, kukira ia benar. Kita memang tidak pernah tahu apa rencana Tuhan. Jikalau pada akhirnya doa-doaku selama ini terkabulkan, itu sungguh merupakan mukzizat yang---sangat luar biasa.
Suatu siang, Ibu pengasuh memasuki kamarku dan mengabarkan berita baik itu kepadaku.
“Donor mata telah tersedia untukmu, Roy!” ia berseru riang. Dipeluknya aku dengan hangat. Dan siang itu juga ia membawaku menemui dokter spesialis mata yang selama ini memegang kasusku.
Dokterpun segera memutuskan untuk melakukan operasi pada keesokan harinya.
Terbalut suka cita yang membuncah, membuatku lupa menanyakan siapa malaikat yang telah merelakan sebelah mata kirinya untukku. Barulah usai pelaksanaaan operasi hal itu tepikirkan olehku, dan aku segera menanyakannya pada Ibu.
“Siapa pemberi donor mata untukku, Bu?” tanyaku lirih. Ibu pengasuh yang tengah menungguiku di samping tempat tidur tidak menyahut. Aku mengulang pertanyaanku sekali lagi. Tetap sama, tak ada jawaban.
Satu minggu berselang, perban pada mataku boleh dibuka. Meski pada awalnya kepalaku terasa pusing dan ‘mata baru’ yang kumiliki terasa nyeri, dadaku tetap saja penuh, berdegup lebih cepat dari biasanya karena menahan luap perasaan gembira.
Huft, akhirnya... aku bisa melihat isi dunia yang selama ini hanya bisa kubayangkan.
Aku berkali mengerjap mata. Belajar beradaptasi dengan lingkungan baruku, membedakan antara gelap dan terang.
Aku nyaris menangis karena bahagia.