Aroma wangi yang merebak lembut dari parfum yang dikenakannya, membuatku yakin, ia adalah seorang perempun. Meski bibirnya tidak mengeluarkan suara barang satu kata pun, sama sekali tidak mempengaruhi dugaanku, bahwa ia memang seorang perempuan.
Ia selalu datang di setiap akhir Minggu. Saat aku tengah duduk termenung di tepi ranjangku. Aku bisa mendengar langkah kakinya berhenti tepat di sampingku, juga gerakan tangannya saat meletakkan sesuatu di atas meja. Setelah itu ia akan berdiri berlama-lama, mungkin menatapku atau apa, sebelum akhinya ia pergi meninggalkan kamarku.
Selalu begitu. Selalu seperti itu. Dan hal itu terjadi selama hampir tiga bulan terakhir ini.
“Roy, kau ingin Ibu mengupaskan jeruk ini untukmu?” suara Ibu pengasuh mengagetkanku.
“Tidak, Bu. Terima kasih.”
“Ada apa, Roy? Kamu tampak memikirkan sesuatu.”
“Mm, iya, Bu. Apakah dia---sudah pergi?” aku menggeser dudukku. Memasang telinga baik-baik.
“Dia siapa?”
“Gadis yang selalu datang mengunjungiku di setiap akhir pekan.”
“Bagaimana kamu tahu dia seorang gadis? Bisa saja dia itu Ibu-ibu seperti aku, Roy.” Ibu pengasuh menertawakanku.
“Mata hati tidak pernah berbohong, kan, Bu?” aku tersenyum. Ibu pengasuh terdiam. Tangannya yang lembut menyentuh pundakku. Sesaat kemudian ia pamit meninggalkan ruangan.
Lalu pintu kamar berderit. Ditutup dari luar.
***
Aku tinggal di panti asuhan ini sejak usiaku masih bayi. Setidaknya begitu yang kudengar. Aku ditemukan di dalam sebuah kotak kardus dengan tubuh masih terbelit tali pusar. Kardus itu sengaja diletakkan di depan pintu gerbang panti, entah oleh siapa, tanpa identitas apa-apa, pada suatu pagi menjelang subuh.
Namaku Roy. Itu saja. Nama yang singkat, tanpa ada embel-embel lain. Nama itu pemberian Ibu pengasuh yang bagiku---ia adalah malaikat yang sengaja dikirim Tuhan untukku. Di tangannya aku tumbuh dan bisa terus hidup hingga sekarang.
Oh, ya, tentang penglihatanku, aku mengalami kebutaan sejak lahir. Menurut penuturan Ibu pengasuh, ketika berumur dua bulan, di mana bayi pada umumnya sudah bisa merespon benda-benda didekatnya, aku justru berperilaku sebaliknya. Pandang mataku sama sekali tidak teralih meski ditunjukkan beragam sesuatu ke arahku .
“Saat itulah Ibu menyadari bahwa ada masalah pada penglihatanmu, Roy. Lalu Ibu membawamu ke dokter spesialis mata.”
"Apa kata dokter, Bu?”
“Usai melakukan pemeriksaan dengan teliti, dokter bilang salah satu syaraf matamu yang sebelah kiri masih berfungsi. Kamu bisa melihat asal....”
“Asal apa, Bu?”
“Asal ada seseorang yang bersedia mendonorkan sebelah matanya untukmu.”
“Mendonorkan sebelah mata? Untukku? Mana mungkin itu terjadi...,” sergahku seraya tertawa.
“Roy, kita tidak tahu rencana Tuhan. Pertolongan bisa datang dari mana saja. Yang terpenting jangan pernah putus asa dan terus berdoa,” Ibu pengasuh menepuk punggung tanganku dengan lembut. Memberiku semangat.
Yah, kukira ia benar. Kita memang tidak pernah tahu apa rencana Tuhan. Jikalau pada akhirnya doa-doaku selama ini terkabulkan, itu sungguh merupakan mukzizat yang---sangat luar biasa.
Suatu siang, Ibu pengasuh memasuki kamarku dan mengabarkan berita baik itu kepadaku.
“Donor mata telah tersedia untukmu, Roy!” ia berseru riang. Dipeluknya aku dengan hangat. Dan siang itu juga ia membawaku menemui dokter spesialis mata yang selama ini memegang kasusku.
Dokterpun segera memutuskan untuk melakukan operasi pada keesokan harinya.
Terbalut suka cita yang membuncah, membuatku lupa menanyakan siapa malaikat yang telah merelakan sebelah mata kirinya untukku. Barulah usai pelaksanaaan operasi hal itu tepikirkan olehku, dan aku segera menanyakannya pada Ibu.
“Siapa pemberi donor mata untukku, Bu?” tanyaku lirih. Ibu pengasuh yang tengah menungguiku di samping tempat tidur tidak menyahut. Aku mengulang pertanyaanku sekali lagi. Tetap sama, tak ada jawaban.
Satu minggu berselang, perban pada mataku boleh dibuka. Meski pada awalnya kepalaku terasa pusing dan ‘mata baru’ yang kumiliki terasa nyeri, dadaku tetap saja penuh, berdegup lebih cepat dari biasanya karena menahan luap perasaan gembira.
Huft, akhirnya... aku bisa melihat isi dunia yang selama ini hanya bisa kubayangkan.
Aku berkali mengerjap mata. Belajar beradaptasi dengan lingkungan baruku, membedakan antara gelap dan terang.
Aku nyaris menangis karena bahagia.
“Roy, kau tahu apa warna rambut Ibu?” Ibu pengasuh mendekat wajah seraya menunjuk kepalanya. Aku menggeleng. “Hitam dan putih, Roy,” lanjutnya sembari tertawa. Renyah.
***
Senja ternyata berwarna seperti itu, jingga. Sedang warna langit saat cerah adalah biru. Awan jika tidak sedang mendung berwarna putih, semirip kapas. Sedang daun-daun yang menempel pada ranting pepohonan berwarna hijau dan---kuntum mawar yang tumbuh di halaman panti, berwarna merah.
Oh, dunia ini ternyata begitu indah, berwarna-warni.
Saat asyik menikmati dunia baru melalui jendela kamar yang terbuka itulah muncul seseorang di ambang pintu. Aku menoleh. Oh, ia, ternyata seorang gadis.
“Maaf,” gadis itu berkata gugup. Lalu ia berbalik badan, bermaksud pergi.
“Tunggu!” aku beranjak dari tempat dudukku, berusaha menahan langkahnya.
“Kau...bukankah yang setiap akhir pekan selalu datang mengunjungiku?” aku mencengkeram pundaknya kuat-kuat. Ia menggeleng ketakutan. Tubuhnya gemetar.
“Kau salah orang!” ditepisnya tanganku dengan kasar.
“Aku rasa tidak. Aku bisa mencium aroma...mm, wangi parfummu,” aku menaikkan cuping hidungku. Sesaat gadis itu termangu, menatapku.
“Kau---cantik sekali,” ujarku seraya mencondongkan tubuh ke arahnya.
Dan entah setan apa yang telah merasukiku, tiba-tiba saja aku ingin mencium bibirnya.
Gadis itu meronta. Sepertinya ia hendak berteriak. Melihat itu aku mulai panik. Tanpa sadar aku membungkam mulutnya dengan satu tanganku, sedang tangan yang lain masih mencengkeram erat pundaknya.
“Roy! Hentikan!” seseorang menghardikku. Aku menoleh. Ibu pengasuh berlari tergopoh menghampiri kami. Perempuan tua itu berusaha menolong gadis dalam cengkeramanku. Ia menarik lenganku sekuat tenaga. Serta merta aku menepis tangan keriput itu, dengan kasar. Ia terhuyung ke belakang. Tubuh gemuknya limbung, hilang keseimbangan. Dan tanpa ayal ia jatuh bergedebum di lantai.
“Roy! Roy!” berkali ia meneriakkan namaku. Sementara gadis dalam cengkeramanku berhasil meloloskan diri. Gadis itu berlari ke arah Ibu pengasuh yang masih terlentang di atas lantai.
“Ibu...sudah kubilang! Jangan korbankan mata Ibu untuk dia! Lihatlah, apa yang telah ia lakukan kepada kita...” gadis itu menangis seraya memeluk tubuh Ibu pengasuh.
Mendengar kata-kata gadis itu aku tertegun.
“Kau bilang ia mengorbankan matanya untukku?” aku mendekat. Suaraku bergetar.
“Kau..., coba kau lihat mata sebelah kiri Ibuku! Tidak ada bukan?" Gadis itu menatapku nanar.
"Ia terlalu mengasihimu. Terlalu menyayangimu! Padahal entah, anak siapa kau ini!" ia meluapkan amarahnya.
"Bisa jadi kau adalah anak seorang penjahat yang paling jahat di dunia ini!”
Sungguh, kata-kata terakhirnya membuat telingaku memerah. Mendadak hatiku terbakar. Aku merangsek maju. Kuraih rambut panjangnya yang tergerai. Kuhentakkan tubuh rampingnya ke belakang. Ia pun jatuh terjengkang bersebelahan dengan Ibu pengasuh.
Dengan geram kucekik lehernya.
Ia meronta sesaat. Tangannya yang kurus menggapai-gapai, berusaha melepaskan diri.
Mendadak sebuah tangan membekap wajahku dari belakang. Lalu jari-jari tangan itu tanpa ampun mencongkel bola mataku yang sebelah kiri.
“Nak, maaf, aku ambil kembali mataku...” suara Ibu pengasuh terdengar parau.
Mendadak semua menjadi gelap.
Gelap gulita seperti sediakala.
Seperti saat aku--- meringkuk di dalam kardus dan dibiarkan tergeletak begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan ini.
***
Malang, 29 April 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H