“Roy, kau tahu apa warna rambut Ibu?” Ibu pengasuh mendekat wajah seraya menunjuk kepalanya. Aku menggeleng. “Hitam dan putih, Roy,” lanjutnya sembari tertawa. Renyah.
***
Senja ternyata berwarna seperti itu, jingga. Sedang warna langit saat cerah adalah biru. Awan jika tidak sedang mendung berwarna putih, semirip kapas. Sedang daun-daun yang menempel pada ranting pepohonan berwarna hijau dan---kuntum mawar yang tumbuh di halaman panti, berwarna merah.
Oh, dunia ini ternyata begitu indah, berwarna-warni.
Saat asyik menikmati dunia baru melalui jendela kamar yang terbuka itulah muncul seseorang di ambang pintu. Aku menoleh. Oh, ia, ternyata seorang gadis.
“Maaf,” gadis itu berkata gugup. Lalu ia berbalik badan, bermaksud pergi.
“Tunggu!” aku beranjak dari tempat dudukku, berusaha menahan langkahnya.
“Kau...bukankah yang setiap akhir pekan selalu datang mengunjungiku?” aku mencengkeram pundaknya kuat-kuat. Ia menggeleng ketakutan. Tubuhnya gemetar.
“Kau salah orang!” ditepisnya tanganku dengan kasar.
“Aku rasa tidak. Aku bisa mencium aroma...mm, wangi parfummu,” aku menaikkan cuping hidungku. Sesaat gadis itu termangu, menatapku.
“Kau---cantik sekali,” ujarku seraya mencondongkan tubuh ke arahnya.