Aku menghela napas panjang. Nyaris semua orang mendoakan agar aku bahagia dalam pernikahan ini. Lalu mengapa hingga detik ini aku sendiri belum merasakannya? Mengapa hatiku masih juga diliputi kebimbangan?
Aku menekan wajahku kuat-kuat dengan bantal. Kegelisahan semakin mendera. Hhh, kiranya aku butuh sesuatu yang mampu mendinginkan kepalaku.
Kuputuskan bangun untuk mengambil air wudhu. Ini jalan satu-satunya untuk menenangkan diri. Sholat. Ya, hanya dengan sholat dan bermunajah kepada Allah aku yakin akan bisa menenangkan hatiku yang gundah.
Saat menuju kamar mandi tanpa sengaja aku berpapasan dengan Mas Abraham.
“Tari, mau sholat juga?” tanya laki-laki yang kini menjadi suamiku itu.
“Eh, iya, Mas….”
“Kita berjamaah, yuk. Kan pahalanya lebih besar,” Mas Abraham tersenyum. Agak kikuk aku mengangguk.
Mas Abraham menungguku menyelesaikan wudhu.
“Kita berjamaahnya di mana, Mas?” tanyaku tersipu begitu keluar dari kamar mandi.
“Terserah, Tari. Mau di kamar yang kamu tempati atau di kamar kita,” laki-laki itu menjawab lembut.
“Mmm, terserah Mas, deh,” akhirnya aku serahkan pilihan kepadanya. Mas Abraham mengangguk. Lalu ia meraih tanganku perlahan.