***
Satu minggu berselang, usai melewati pemikiran yang matang, terutama demi menjaga perasaan Ibu, aku menyatakan diri bersedia menerima kehadiran Mas Abraham. Walau hatiku belum sepenuhnya mantab.
Jeda satu bulan Mas Abraham resmi menikahiku. Usai akad nikah kami menempati sebuah rumah baru di pinggiran kota. Rumah itu tidak terlalu besar. Tapi cukup nyaman untuk pasangan pengantin anyar seperti kami.
“Tari, inilah rumah kita, sangat sederhana. Kemampuanku masih sebatas ini,” Mas Abraham tersenyum ke arahku. Aku tidak menyahut. Hanya berdiri terpaku.
“Dan kamar yang paling depan itu adalah kamarmu,” Mas Abraham melanjutkan.
“Maksud, Mas?” aku menatapnya heran. Mengapa ia berkata begitu?
“Aku paham, Tari. Hatimu belum sepenuhnya menerimaku,” ia menatapku beberapa jenak. “Izinkanlah malam ini Mas tidur di kamar sebelah. Jika hatimu sudah bisa menerimaku seutuhnya, aku akan datang menjemputmu.” Mas Abraham tersenyum. Kemudian ia membuka pintu kamar depan dan mempersilakan aku masuk.
Ponsel berkedap-kedip. Banyak sekali pesan masuk yang aku terima malam ini. Aku sampai kewalahan membacanya.
“Selamat menempuh hidup baru, semoga pernikahanmu samawa.”
“Segera dapat momongan, ya, Tari.”
“Selamat, Tari. Semoga bahagia dan berkah.”