Mendengar itu seketika aku menatap Ibu. Ibu memberikan respon dengan sebuah anggukan kecil.
“Tapi sebelumnya aku sampaikan satu hal. Temanku ini seorang tuna daksa,” Mas Alfiar melanjutkan.
“Maksud, Mas?”
“Kaki kirinya agak timpang,” Mas Alfiar menjelaskan. Aku terdiam. Tapi dalam hati aku menggerutu. Sudah sekronis itukah kesendirianku, hingga seorang penyandang tuna daksa disodorkan kepadaku?
“Ini masih tahap ta’aruf, Tari. Selanjutnya terserah padamu. Tidak ada keharusan bagimu untuk menyetujui tawaranku ini,” Mas Alfiar menatapku seolah paham apa yang tengah kupikirkan.
Sekali lagi aku menatap Ibu. Wajah Ibu tampak sumringah.
“Baiklah, segera pertemukan mereka,” Ibu berkata gembira.
"Ibu..." aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian urung. Aku tak tega menghapus kegembiraan dari wajah perempuan yang telah melahirkanku itu.
Mas Alfiar memenuhi janjinya. Suatu sore ia datang ke rumah bersama seorang laki-laki. Ibu suka cita menyambut tamu kami itu dan mempersilakannya masuk.
“Ini anak saya Lestari,” Ibu memperkenalkan diriku. Lelaki yang berdiri di sebelah Mas Alfiar mengangguk. Ia mengenakan kemeja koko berwarna putih dan celana hitam.
“Saya Abraham,” lelaki itu balik memperkenalkan dirinya. Lalu ia mengambil tempat duduk di samping Mas Alfiar. Berhadap-hadapan dengan Ibu. Sementara aku duduk menyendiri di pojok ruangan.