“Maaf, mungkin Mas Alfiar sudah menceritakan tentang keinginan saya,” laki-laki bernama Abraham itu menatap sejanak ke arah Ibu. Kemudian ia melirik ke arahku. Kulihat Ibu tersenyum. Mengangguk-angguk. Dan kemudian mereka terlibat pembicaraan ringan.
Proses ta’aruf berlangsung sangat singkat. Aku menarik napas lega begitu Mas Alfiar dan temannya itu pemit pulang.
Usai kepergian mereka, aku bergegas menuju kamar. Ibu membuntutiku.
“Tari, bagaimana penilaianmu mengenai Abraham?” bisik Ibu seraya menutup pintu.
“Biasa saja, Bu. Tidak ada yang istimewa,” jawabku jujur.
“Tari, ini masih tahap pengenalan. Kamu bisa saja menolak jika hatimu belum sreg,” Ibu menatapku. Berusaha membaca air mukaku.
“Beri aku waktu untuk berpikir, Bu,” ujarku setengah memohon. Ibu mengangguk kemudian berlalu meninggalkan kamarku.
Malam itu aku tidak bisa memicingkan mata barang sedetik pun. Pikiranku kacau. Apa sebenarnya yang aku cari? Berapa kali sudah orang-orang terdekatku berusaha mencarikan jodoh untukku? Tapi mengapa hati ini belum juga terbuka?
Aku memeluk guling erat-erat. Kiranya aku masih terobsesi dengan keinginanku.
Aku belum menemukan yang kucari.
Lelaki sempurna seperti Ayah.