Aku mengangguk.
Lelaki itu duduk. Meraih ransel yang tergeletak tak jauh dari kakinya.Â
"Kita belum berkenalan," ujarnya tanpa melihatku.
"Namaku Rara. Pemilik toko tembikar ini," aku memperkenalkan diri.
"Aku Ben. Lengkapnya Ben Ikhsan."
Aku meletakkan siku di atas meja. Kutatap lelaki asing itu tak berkedip.
"Ben, apakah kamu..." tak kulanjutkan kalimatku. Ben juga tak menyahut. Tangannya sibuk mengeluarkan benda-benda dari dalam ransel hitamnya.Â
Sesaat aku menahan napas begitu melihat benda-benda yang digelar di atas meja. Sebuah senjata api, beberapa peralatan berbentuk aneh yang berhiaskan kabel-kabel. Â Juga buku-buku tebal bergambar orang-orang bersorban.
"Jadi benar kamu anggota teroris, Ben?" suaraku bergetar. Antara takut dan kecewa.
Lelaki bernama Ben Ikhsan itu terdiam. Ia terpekur memandang ujung kakinya. Sementara aku tak tahu harus bicara apa lagi. Mulutku terasa terkunci.
"Rara, aku ingin berkata jujur," akhirnya lelaki itu mengangkat wajahnya. "Aku tak mau menjadi teroris lagi. Sungguh."