Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Halimah, si Kaki Buntung

10 September 2019   14:15 Diperbarui: 11 September 2019   00:13 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
theodysseyonline.com

"Nak bangun nak, udah siang. Kamu kan harus sekolah..!" Ucap Halimah, pada anaknya, Herman.

"Ah ibu bisanya hanya ganggu aku saja. Masih ngantuk nih..!" Sahut Herman, ketus.

Herman adalah anak Halimah satu-satunya. Ayahnya sudah meninggal dunia waktu pemuda tinggi, tampan ini masih umur tiga tahun. Namun dibalik wajah tampannya tersembunyi tabiat kurang baik. Herman kurang hormat pada Halimah, gara-gara kaki kanan ibunya itu buntung.

Waktu masih di sekolah dasar, Herman seringkali uring-uringan jika ibunya datang ke sekolah untuk menjemput. Lantaran dia malu, ibunya hanyalah manusia cacat. Rasa malu terhadap kondisi fisik ibunya itu semakin menguat seiring bertambahnya usia Herman. Kini Ia sudah berumur hampir 18 tahun, sebentar lagi lulus sekolah.

Dengan kakinya yang buntung, Halimah tidak pernah minder apalagi putus asa dalam menghadapi kejamnya kehidupan. Justeru, perempuan 40 tahun ini selalu semangat seperti manusia normal lainnya. Dengan menggunakan tongkat, dia berdagang keliling nasi kuning dengan beberapa macam gorengan. 

Semua itu ikhlas dia lakukan, demi membiayai sekolah anaknya. Harapan Halimah sangat tinggi, menyekolahkan Herman hingga kuliah. Bagi dia pendidikan anaknya amat penting, untuk bekal hidupnya kelak. Karena Halimah merasa tidak mampu memberikan apapun kecuali kasih sayang dan membiayai sekolah Herman. Meski semua itu harus bekerja ekstra keras.

"Ayo, nak bangun, cepat mandi. Ibu ga mau kamu kesiangan" Ucap Halimah, lembut.

"Iya..iya ah. Bawel banget sih bu" Ketus Herman. Beringsut dari kamar tidurnya, langsung ke kamar mandi.

Tak beberapa lama, Herman sudah rapih. Siap berangkat ke sekolah. Namun seperti biasa, pemuda ini sarapan dulu bareng Halimah.

"Nak sebentar lagi kamu lulus sekolah. Katanya orang tua siswa diundang untuk menghadiri acara perpisahan. Koq ibu ga menerima surat undangannya?" Tanya Halimah.

"Ah ibu ga usah hadir. Ga begitu penting ini acaranya" Ketus Herman lagi.

"Karena kaki ibu buntung?" Tanya Halimah. Matanya berkaca-kaca. Meski begitu, bibirnya tetap tersenyum. Rasa sakit hatinya itu tak ingin diketahui anak semata wayangnya.

"Ahh, pokonya aku ga mau ibu datang. Titik..!" Ketus Herman. Dia beringsut meninggalkan meja makan, kemudian berangkat sekolah.

Sepeninggal anaknya, Halimah hanya bisa bengong. Perasaan campur aduk terus mengganggu.

"Maafkan ibu nak..!. Karena kondisi ibumu, kau jadi menanggung malu" gumam Halimah. Tak ada secuipun perasaan marah pada Herman. Meski anaknya sudah berbuat tidak sopan.

***
"Bu..ibuuu, dimana?" Herman tergopoh-gopoh masuk ke rumah.

"Ibu di dapur nak...!" Sahut Halimah.

"Bu coba lihat ini" Kata Herman, sambil menyodorkan hasil kelulusan.

"Alhamdulillah Ya Allah. Kau lulus nak, dan nilainya juga bagus. Kamu memang kebanggaan ibu"

"Terus aku jadi ga kuliah?

"Insya Allah nak. Ibu akan bekerja lebih keras lagi. Kamu jangan pikirkan biayanya dari mana"

"Baiklah kalau itu maunya ibu. Tadinya aku ga mau nyusahin ibu saja"

"Tidak nak. Ibu sama sekali tidak merasa susah. Buat ibu, kebahagiaanmu adalah karunia"

"Jadi sekrang kamu fokus saja untuk mencari tempat kuliah sesuai yang kamu suka..!" Imbuh Halimah.

Singkat cerita, Herman pun kuliah di kota. Pada dasarnya dia itu anak pintar dan baik. Tapi rasa malu terhadap kondisi ibunya yang cacat jauh lebih merasuki jiwanya. Bertahun-tahun dia kuliah, belum pernah sekalipun ibunya tahu dimana tempat tinggal anaknya. Ini karena Herman tidak pernah memberi tahu.

Sakit hati pasti di rasakan Halimah. Meski begitu dia perempuan sabar. Tak pernah sekalipun mengeluh dan memperlihatkan kekesalan atau sakit hatinya pada Herman. Senyum dan senyum, itulah yang selalu ia tampilkan pada anaknya saat ada di rumah. Selebihnya, Halimah tak segan menumpahkan segala perasaannya dengan menangis dan bermunajat pada Allah, agar suatu kelak nanti, Herman bisa menerima dia apa adanya.

"Ya Allah bimbinglah anakku di jalanMu. Berilah dia petunjuk dan hidayah agar bisa menerima hamba sejatinya seorang ibu. Jadikanlah anakku manusia yang berguna bagi nusa bangsa dan agama. Aaminn" 

Itulah doa Halimah setiap kali usai menunaikan Sholat fardu maupun sunat.

Malang bagi Halimah, setelah lulus kuliah, Herman tak pernah pulang lagi ke kampung. Perempuan berhati malaikat ini sangat kehilangan. Mau di cari pun tak mungkin. Karena dia tidak pernah tahu tempat kuliah atau tempat kost Herman

Awalnya, Halimah memaklumi selama Herman masih bisa dekat dengannya. Tapi sekarang sudah beberapa tahun ini dia tidak bisa melihat anaknya lagi. Hati dan pikirannya terus di dera nestapa. Rasa kehilangannya perlahan menggerogoti tubuhnya yang sudah tidak sempurna menjadi lebih parah. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus dan sakit-sakitan. Tanpa seorang pun yang mengurus. Hingga suatu hari datanglah Arman. Dia adalah adik almarhum suaminya.

"Teteh kenapa, koq jadi kurus begini?"

"Anaku tak pulang-pulang sudah berapa tahun ini. Di telpon tak diangkat. Apalagi sekarang sudah hampir dua bulan lebih hapenya tak aktip" Jawab Halimah, pipinya dibasahi air mata yang tak mampu lagi dia bendung.

"Dasar anak tak tahu diri. Gini balasannya terhadap teteh" Kesal Arman terhadap kemenakannya itu.

"Husst jangan bicara seperti itu..! Dia anakku dan juga keponakanmu" Sanggah Halimah, tidak suka oleh sikap yang ditunjukan adik iparnya.

"Begini kalau teteh terlalu lembut dan baik. Anak sendiri pun jadi ngelunjak dan tidak tahu rasa terimakasih. Aku hanya tidak ingin si Herman jadi anak durhaka" Sahut Arman makin tampak kesal.

"Udah ah. Sekarang katakan, mau apa kau ke sini?"

"Aku mau ngajak teteh pindah ke kota. Menempati rumah almarhum. Aku ingin teteh tidak repot-repot lagi nyari duit. Sudah cukup, sekarang waktunya istirahat"

"Tapi bagaimana kalau nanti anakku pulang?" Dia akan bingung, ibunya tidak ada di rumah"

"Udah, teteh jangan banyak pikiran dulu. Nanti kita sama-sama cari Herman di kota."

"Benarkah?" Tanya Halimah antusias. Matanya langsung berbinar waktu Arman mau ikut mencari anaknya.

"Iya teh, aku janji...!"

"Kalau begitu, teteh mau ikut denganmu"
Demikianlah, Halimah akhirnya ikut pindah dengan adik iparnya ke kota. Dengan harapan, bisa bertemu dengan Herman.

***
Herman yang berparas tampan dan pintar menjadi idola di kampus tempatnya kuliah. Banyak gadis yang terpikat. Namun, hanya Mita yang berhasil mencuri hatinya. Keduanya serius menjalin hubungan asmara hingga lulus kuliah. Tapi, selama menjalin hubungan kasih, Mita tidak pernah bertemu dengan ibu kekasihnya. 

Lantaran Herman mengaku sebagai anak yatim piatu dan hidup sebatang kara. Hal ini juga diketahui orang tua Mita. Kendati demikian kedua orang tua Mita tidak mempermasalahkan status Herman. Di mata Mita dan orang tuanya, Herman adalah sosok pria baik, tampan, pintar dan bertanggung jawab.

Setelah beres kuliah, Herman dan Mita menikah. Kehidupan ekonomi mereka tidak kekurangan suatu apapun. Karena, Herman dipercaya menjadi direktur perusahaan milik mertuanya. Begitupun dengan kehidupan rumah tangganya sangat harmonis. Keduanya saling mencinta dan saling setia.

Pada suatu sore, Herman dan Mita tengah duduk santai di beranda rumahnya. Keduanya tampak romantis. Canda tawa, peluk cium mewarnai bincang santai diantara keduanya.

Suasana romantis mendadak terhenti. Seorang perempuan setengah tua dengan kaki kanannya buntung ditemani seorang pria menghampirinya.

"Siapa kalian?" Tanya Mita, kaget karena merasa tidak kenal dengan kedua orang itu, yang tak lain adalah Halimah dan Arman.

Sementara Herman, sejenak ingin menghampiri perempuan itu dan merangkulnya. Namun ditahan, dia kembali duduk dan pura-pura tidak mengenalnya.

Ditanya Mita, Halimah sama sekali tak menghiraukan. Matanya tertuju pada Herman yang sedang berpura-pura baca surat kabar.

"Herman anakku...!" Seru Halimah, dengan pandangan tajam menuju Herman.

"Hei ibu salah lihat kali. Suamiku sudah tidak punya orang tua" Sanggah Mita. Matanya melotot tanda kurang senang atas pengakuan Halimah.

"Tidak. Ibu yakin dia Herman anakku" Keukeuh Halimah. Dengan langkahnya yang disangga tongkat mau menghampiri Herman. Namun cepat di halangi Mita.

"Hei ibu jangan kurang ajar ya. Ngaku-ngaku anak orang. Sudah saya bilang, suamiku itu sudah tidak punya ibu"

Sementara Herman mulai gelisah melihat perdebatan isteri dan ibunya. Bingung apa yang mesti dilakukan. Malu, rahasianya akan segera terbongkar.

"Sudah..sudah hentikan...!" Teriak Herman.

"Apa maksud semua ini?" Tanya Mita pada Herman.

"Dia memang ibuku. Tapi aku malu punya ibu seperti dia" Jawab Herman, sambil menudingkan telunjuknya ke arah Halimah yang sedang bercucuran air mata.

"Kenapa?" Teriak Mita.
"Karena kakinya buntung. Aku malu mengakuinya seorang ibu" Jawab Herman tegas. Wajahnya memerah, menahan amarah dan malu.

"Anak durhaka. Jaga bicaramu..!" Tiba-tiba Arman membentak keponakannya yang sudah dianggap keluar batas kesopanan.

"Kamu sungguh tidak tahu diri. Apa kamu tahu, kenapa kaki ibumu sampai buntung?" Imbuh Arman.

"Jangan. Jangan kau lanjutkan omonganmu. Teteh mohon...!" Cegah Halimah pada adik iparnya.

Mita dan Herman menjadi bingung dengan peristiwa yang ada di depan matanya.

"Tidak teh. Dia harus tahu kebenarannya. Aku tidak mau dia terus-terusan menghina teteh seperti itu"

"Teteh mohon jangan...!" Halimah terus menangis. Melarang adik iparnya untuk berterus terang tentang akibat kakinya yang buntung.

Namun Arman sudah bulat untuk menyampaikan kebenarannya. Laki-laki itu menghampiri Herman dan memegang pundaknya.

"Ketauilah sama kamu..! Ibumu buntung seperti itu gara-gara ulahmu dulu. Waktu kecil kau hampir tertabrak mobil, untung segera diselamatkan ibumu. Akibatnya ibumu lah yang jadi korban. Kaki kanannya terlindas mobil, hingga akhirnya harus diamputasi" Tutur Arman.

Lalu, Arman pun menceritakan dan membongkar rahasia besar yang selama ini disembunyikan. Halimah hanyalah ibu tirinya. Pernikahannya tidak dikarunia anak. Kemudian, secara sembunyi, suami Halimah (ayahnya Herman) menikah lagi dan lahirlah seorang anak laki-laki, yakni Herman. Sampai suatu ketika terjadi kecelakaan. Suami dan ibunya Herman meninggal akibat kecelakaan tersebut. Sementara Herman masih hidup karena diselamatkan Halimah.

"Sekarang kamu pikir, bagaimana besarnya pengorbanan ibumu. Setelah dikecewakan ayahmu, dia masih bisa menyayangi sepenuh hati. Bahkan rela mengorbankan kakinya demi keselamatan hidupmu" Imbuh Arman lagi.

Mendengar penuturan pamannya, Herman tidak mampu lagi membendung air matanya. Hatinya menyesal telah memperlakukan ibunya dengan buruk. Kemudian dia menubruk Halimah dan bersimpuh di kakinya.

"Ibu maafkan anakmu yang durhaka ini. Herman sangat menyesal bu. Sekali lagi maafkan Herman"

"Sudah..sudah anakku, tak perlu seperti ini. Kamu tidak bersalah nak. Ibu lah yang salah, hanya bisa membuatmu malu saja"

"Tidak bu. Herman yang salah. Herman telah durhaka sama ibu..!" Ucap Herman. Tangisannya makin keras.

"Ya udah ibu maafkan. Sekarang berdirilah..!"

Sejurus kemudian, anak dan ibu itu berangkulan disaksikan Mita dan Arman yang sama-sama tak kuat menahan tangis.

Begitulah seorang ibu. Betapapun disakiti seorang anak, masih terbuka lebar-lebar pintu maaf di hatinya. Benar kata pepatah, kasih sayang ibu sepanjang masa, sedangkan kasih sayang anak sepanjang galah. Ini berarti, kasih sayang ibu pada anaknya itu selamanya seumur hidup. Sedangkan kasih sayang anak memiliki batasan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun