Setelah beres kuliah, Herman dan Mita menikah. Kehidupan ekonomi mereka tidak kekurangan suatu apapun. Karena, Herman dipercaya menjadi direktur perusahaan milik mertuanya. Begitupun dengan kehidupan rumah tangganya sangat harmonis. Keduanya saling mencinta dan saling setia.
Pada suatu sore, Herman dan Mita tengah duduk santai di beranda rumahnya. Keduanya tampak romantis. Canda tawa, peluk cium mewarnai bincang santai diantara keduanya.
Suasana romantis mendadak terhenti. Seorang perempuan setengah tua dengan kaki kanannya buntung ditemani seorang pria menghampirinya.
"Siapa kalian?" Tanya Mita, kaget karena merasa tidak kenal dengan kedua orang itu, yang tak lain adalah Halimah dan Arman.
Sementara Herman, sejenak ingin menghampiri perempuan itu dan merangkulnya. Namun ditahan, dia kembali duduk dan pura-pura tidak mengenalnya.
Ditanya Mita, Halimah sama sekali tak menghiraukan. Matanya tertuju pada Herman yang sedang berpura-pura baca surat kabar.
"Herman anakku...!" Seru Halimah, dengan pandangan tajam menuju Herman.
"Hei ibu salah lihat kali. Suamiku sudah tidak punya orang tua" Sanggah Mita. Matanya melotot tanda kurang senang atas pengakuan Halimah.
"Tidak. Ibu yakin dia Herman anakku" Keukeuh Halimah. Dengan langkahnya yang disangga tongkat mau menghampiri Herman. Namun cepat di halangi Mita.
"Hei ibu jangan kurang ajar ya. Ngaku-ngaku anak orang. Sudah saya bilang, suamiku itu sudah tidak punya ibu"
Sementara Herman mulai gelisah melihat perdebatan isteri dan ibunya. Bingung apa yang mesti dilakukan. Malu, rahasianya akan segera terbongkar.