"Tidak bolehkah aku mengetahui namamu, setidaknya jika aku mati, aku tau dengan siapa di saat terakhirku".
"Namaku Raka"
"Hai Raka...mungkin jika situasinya berbeda, kita bisa bersahabat lebih dekat"
"Mungkin saja nona"
"Hey...sudah kubilang, panggil saja aku Selsa. Jika takdir memihak padaku, suatu saat aku ingin mengajakmu minum kopi"
Mereka berdua kembali melanjutkan makan malam yang sempat terhenti. Kemudian Selsa berbicara kembali
"Kamu pintar memasak, dan aku rasa kamu juga pintar melukis. Aku yakin, semua lukisan yang ada di rumah ini adalah karyamu"
"Darimana kamu tau?"
"Ada inisal R di setiap lukisan, itu inisialmu kan?"
Lelaki yang bernama Raka itu hanya diam.
"Maukah kau melukis diriku? Ayolah...sebelum aku mati"
Raka terdiam sejenak, kemudian dia pergi meninggalkan meja makan. Tak berapa lama, dia sudah kembali dengan membawa kanvas dan cat.
***
Gadis cantik itu masih terduduk di atas tempat tidur, tangannya terikat erat sedangkan mulutnya tertutup oleh plester. Terlihat sorot ketakutan bercampur dengan kemarahan di matanya, tapi dia hanya bisa pasrah menanti apa yang akan terjadi dengan dirinya.
"Akan kubuka plester di mulutmu, tapi aku tak ingin mendengar kamu berteriak seperti tadi, atau mulutmu aku bungkam selamanya!"
Gadis itu mengangguk mengiyakan, dia tak punya pilihan lain.
Sreett!
Dengan cepat, lelaki itu melepaskan plester yang ada di mulutnya, kini dia bisa bernafas dengan lega walau tangannya masih saja terikat.
***
"Makanlah!" ucap lelaki itu sambil memotong tali yang mengikat ditangan gadis itu, tetapi gadis itu hanya diam.
"Ayolah makan..., dari kemarin kamu belum makan!"
Prangg!
Gadis itu menepis piring yang berisi makanan sehingga jatuh berhamburan.
Plakkk!
Lelaki itu menampar pipi sang gadis. Dan gadis itu menangis, seumur hidup dia tidak pernah menerima perlakuan kasar seperti ini.
"Maaf"
Lelaki itu meminta maaf dan sepertinya menyesal telah menampar gadis itu. Sang gadis hanya diam, lalu dia melihat lelaki itu membersihkan pecahan piring dan tumpahan makanan di lantai.
"Aku ke dapur dulu. Dan ingat! jangan coba coba melarikan diri, karena semua pintu rumah ini sudah terkunci, atau kamu akan menyesal!"
Lelaki itu pergi meninggalkan sang gadis di dalam kamar. Kemudian gadis itu berjalan menuju jendela kamar, dan ternyata benar apa yang dikatakan lelaki itu, jendela sudah terkunci dengan rapat. Lalu dia menyadari, jika kamar ini tertata rapi dan sangat bersih. Tampak lukisan yang menjadi hiasan di dindingnya. Gadis itu berjalan ke luar kamar, dia lalu mencoba melawan ketakutannya dan mengumpulkan keberanian yang dimilikinya.
***
"Makanlah!"
Lelaki itu kembali memberikan sepiring makanan. Sejenak gadis itu terdiam, perutnya memang terasa lapar, tapi gadis itu ragu untuk memakan makanan itu. Dia ragu, jika ada racun atau obat tidur di dalam makanan, dan lelaki itu melihat keraguan di mata sang gadis.
"Jangan khawatir, gak ada obat tidur di dalamnya. Aku tak berniat untuk memperkosa dirimu, jika aku berniat, tentu sudah dari kemarin aku lakukan"
Perlahan gadis itu mulai makan, makanan itu terasa lezat olehnya, atau karena perutnya yang lapar, dan tak butuh waktu yang lama, makanan itu sudah habis dimakannya.
"Lagi?" tanya lelaki itu.
"Cukup, terimakasih"
Kemudian lelaki itu mengambil piring dari tangan sang gadis, kemudian membawa piring itu ke dapur. Sang gadis mengikuti langkah lelaki itu, kemudian matanya tertuju pada pistol yang tergeletak di atas meja. Secepatnya dia mengambil pistol dan menyembunyikan dibalik pakaiannya.
"Aku tak melihatmu keluar tadi, lantas siapa yang mengantarkan makanan?" tanya gadis itu.
"Aku yang memasaknya" ucap lelaki itu acuh sambil mencuci piring yang kotor.
Kemudian gadis itu mengeluarkan pistol dan menodongkan ke arah lelaki itu.
"Tolong bebaskan aku! atau...."
"Atau apa? kau mau membunuhku? Lakukan saja kalau kau berani!"
"Jangan paksa aku!" teriak gadis itu.
Lelaki itu berjalan mendekati sang gadis, tak tampak rasa takut dimatanya. Kemudian dengan cepat, dia sudah merampas pistol itu dari tangan sang gadis.
"Kau memang harus mati, tapi tidak sekarang nona"
***
Gadis itu terdiam pasrah di kamar. Dia merasa sulit lepas dari cengkraman lelaki itu, Lelaki bajingan yang menculiknya. Walaupun dia diperlakukan dengan baik, tetap saja dia korban penculikan. Lambat laun, perasan takut terhadap lelaki itu hilang, mungkin karena kepasrahan akan nasib dirinya.
"Namaku Selsa, boleh aku tau namamu?" tanya gadis itu.
"Aku sudah tau nama mu, kau anak kesayangan pak Wawan Purwanto, pengusaha sukses yang akan terjun dibidang politik"
"Lalu, apa alasanmu menculik ku, demi uangkah?" tanya Selsa.
"Huh...Apa aku terlihat seperti membutuhkan uang?" ucap lelaki itu.
Tutt...Tutt...Tutt!
Lelaki itu segera mengangkat handphone nya.
"Jangan khawatir! Putri anda baik baik saja. Ohh...sudah anda transfer uangnya, baik nanti aku cek, setelah itu, aku yang kan hubungi bapak untuk menunjukkan tempat dimana putri bapak saya sekap!"
Lelaki itu segera mematikan handphonenya, kemudian mengganti dengan kartu yang baru.
"Bajingan! Ternyata ini semua demi uang!" umpat Selsa.
"Ini tak seperti yang kau kira nona"
"Kenapa tak kau lepaskan saja aku, bukankah kau sudah menerima uangnya?"
"Nanti ada saatnya aku lepaskan"
"Berarti, kamu tak jadi membunuhku?" tanya Selsa
"Siapa bilang aku tak jadi membunuhmu"
***
"Semua yang ada di dalam segera menyerah! Segera bebaskan sandera! Anda sudah terkepung!"
Raka hanya tersenyum mendengar ultimatum dari polisi yang mengepung rumahnya. Lalu dia melihat ke arah luar, tampak olehnya pak Wawan Purwanto ada di sana.
Selsa terdiam, sepertinya ini saat terakhir hidupnya. Dia harus mati ditangan Raka, lelaki penculik itu, dan tiba-tiba dia merasa takut sekali.
"Pergilah, temui ayahmu!" ucap Raka pada Selsa.
"Maksudmu?"
"Jangan banyak tanya, pergilah!"
Raka mengantar Selsa sampai pintu depan, lalu dia berteriak
"Jangan menembak! Sandera akan saya bebaskan"
Selsa segera berjalan perlahan ke arah luar, dia menuju ayahnya yang tampak cemas menantinya. Sementara itu, Raka mulai membidik pistolnya dari balik jendela. Matanya mengikuti gerakan langkah Selsa.
Dan saat Selsa berpelukan dengan pak Wawan yang menyambut gembira buah hatinya,
Doorr!
Peluru dari pistol Raka menyalak, Selsa roboh bersimbah darah
"Selsaaaa!" teriakan histeris Wawan Purwanto bergema.
***
"Rakaaaa"
"Ayaaaah"
Anak lelaki kecil itu menyambut gembira kedatangan ayahnya, dia segera berlari dan kemudian memeluk ayahnya. Mereka berdua tertawa bahagia, sampai kemudian, terdengar sebuah letusan pistol, dan ayahnya roboh sembari tetap memeluk lelaki kecil itu. Anak kecil itu menangis meraung melihat tubuh ayahnya terkapar bersimbah darah, kemudian dia melihat ke arah lelaki yang menembak ayahnya, yang kini sedang mengarahkan pistol ke arah ibunya..
***
Panti Asuhan ‘Kasih Bunda'
Seorang gadis cantik memasuki Panti tersebut, sesampainya di dalam, dia disambut oleh pengurus Panti Asuhan.
"Mbak, ini laporan transfer sumbangan dari bapak Wawan Purwanto sejumlah satu milyard. Di situ ada rincian penggunaan, untuk membeli selimut, makanan dan modal usaha Panti".
"Saya kesini bukan menanyakan masalah sumbangan, tetapi saya ingin tau, apakah dulu ada anak di panti ini yang bernama Raka?"
Perempuan tua pengurus panti itu pun tersenyum. Dia berjalan menuju lemari, kemudian dia membawa sebuah tas berbentuk tabung.
"Ini untukmu, ambilah! Raka berpesan untuk memberikan benda ini, jika ada gadis yang datang menanyakan dirinya"
"Terimakasih"
***
Di sudut sebuah café, seorang gadis tengah duduk santai sambil menikmati secangkir kopi. Kemudian tangan sang gadis membuka tas tabung yang ada di meja. Dipandanginya lukisan yang diambil dari dalam tas. Terlihat senyum di sudut bibirnya, namun tampak juga matanya yang berkaca kaca.
"Boleh saya temani" sapa seorang lelaki dengan ramah.
Gadis itu menoleh ke arah suara yang datang, seketika dia berteriak girang.
"Raka!"
Gadis itu ingin memeluk lelaki yang ada dihadapannya, namun diurungkan niatnya itu karena dia sadar ada di tempat keramaian. Dia merindukan lelaki itu, mungkin ini Stockholm Syndrome atau entahlah. Yang jelas dia bersimpati pada lelaki itu setelah mengetahu semua kebenarannya.
"Terimakasih karena kau tidak jadi membunuhku, aku sudah rela mati ditanganmu, melihat apa yang telah ayahku lakukan padamu"
"Aku sempat membayangkan, peluruku menembus tubuhmu. Aku tersenyum, saat membayangkan betapa sedihnya ayahmu yang melihat kematianmu tepat dipelukannya. Tapi aku sadar, aku bukanlah pembunuh dan tak ingin jadi seorang pembunuh. Lagipula, itu tak adil buatmu"
"Bagaimana kamu bisa lolos dari kepungan polisi?"
"Karena aku sudah merecanakan jalan pelarianku"
"Lantas, mengapa kau mau menemui aku di sini, bukankah berbahaya buatmu?" tanya Selsa.
"Sekedar memenuhi keinginanmu, bukankah kau ingin minum kopi berdua denganku, anggap saja sebagai permintaan maafku yang telah melibatkanmu"
"Bagaimana jika aku ingin lebih dari sekedar minum kopi, mungkinkah?"
Raka tersenyum mendengar pertanyaan Selsa.
"Kita lihat saja nanti nona Selsa"
***
Tamat
* Stockholm Syndrome atau Sindrom Stockholm adalah respon psikologis dimana dalam kasus-kasus tertentu para sandera penculikan menunjukkan tanda-tanda kesetiaan kepada penyanderanya tanpa memperdulikan bahaya atau risiko yang telah dialami oleh sandera
Stockholm Syndrome berasal dari sebuah kisah perampokan bank di Norrmalmstorg, Stockholm, Swedia pada tanggal 23 hingga 28 Agustus 1973. Korban penculikan merasa bersimpati dengan penculiknya, sehingga setelah mereka bebas dari penculikan, mencoba membela/bersimpati kepada para penculiknya.
Catatan penulis
Tadinya mau dibuat cerbung, berhubung penulis sering tidak bertanggung jawab dan sering lupa plus malas kalo bikin cerbung, makanya dijadikan cerpen :)
Salam
Elang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H