Mohon tunggu...
Eko Windarto
Eko Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023

esai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puisi Dunia sebagai Pandangan Dunia Tragik

22 Juni 2024   07:41 Diperbarui: 22 Juni 2024   07:41 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar dokpri 

Oleh: Eko Windarto

Karya sastra adalah fenomena unik. Ia juga fenomena organik. Di dalamnya penuh serangkaian makna dan fungsi. Makna dan fungsi ini sering kabur dan tak jelas. Oleh karena, karya sastra memang syarat dengan imajinasi. Itulah sebabnya, kajian, penelitian atau telaah sastra akan mengungkapkan elemen-elemen dasar pembentuk sastra dan menafsirkan sesuai paradigma dan atau teori yang digunakan.

Tugas demikian, akan menjadi bagus apabila penelaah atau pengapresasi memulai kerjanya atas dasar masalah. Tanpa masalah yang jelas dari karya sastra yang dihadapi, tentu kerja penelaah juga akan menjadi kabur. Manakala penelaah dan karya sastra itu sendiri sebagai fenomena yang kabur, tentu hasilnya tidak akan optimal. Itulah sebabnya kepekaan penelaah sastra untuk mengangkat sebuah persoalan menjadi penting.

Banyak dari pengamat, penelaah, dan peneliti seperti Teeuw (Satoto, 1986:1-2) mengemukakan bahwa mempelajari sastra itu ibarat memasuki hutan; makin ke dalam makin lebat, makin belantara. Dan, di dalam ketersediaan itu ia akan memperoleh kenikmatannya. Dari pendapat ini, terungkap bahwa karya sastra adalah fenomena kemanusiaan yang kompleks dan dalam. DI dalamnya penuh makna yang harus digali melalui pemikiran penelaah yang mendalam pula.

Menurut Goldman, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia ( visioner du monde ) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik menurut penelaah merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat memalui pandangan dunia atau idiologi yang diekspresikan. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan kejadiannya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik, karenanya disebut struktural genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya seperti kompleksitas menyeluruh dari gagasan-gagasan, inspirasi dan perasaan puisi Ani Kzt di bawah ini.

DUNIA

Baca juga: Di Kali Brantas

Oleh: Ani Kzt

Seorang nabi mangkat diiringi tangis para perindu dan para malaikat 

yang berbaris mengelepakkan sayapnya seraya memuji bershalawat 

Mengguncangkan arasy menggurat .Sedang dari kejauhan ,para 

sahabat dan kaum salihin arifin menapaki jalan yang sama diantarkan

hangatnya,cahaya ,memeluknya dengan dekapan doa-doa pujian harap syafaat.

Nun di jalan yang berseberangan ,seperti tikus yang ketakutan

rombongan pengembara yang telah menguras habis kehidupannya

menukar nikmat berlimpah dengan kenikmatan dunia yang sedikit ,

Kini terhuyung - huyung menangung beban berat diiringi kilat dan guntur yang melecut tubuhnya dengan api.

Tetapi ,seakan tidak peduli,toh matahari tetap setia menampakkan

dirinya membagi cahaya menggapit waktu mengantarkan orang- orang datang dan berlalu.

Dunia tetap setia berkisah tentang pencari 

kebenaran perindu cinta yang senyumnya merekah bebungaan

sambil mereguk derita ; ataukah kisah para pemuja dunia yang air matanya meleleh- leleh mengakhiri pestanya yang telah usai.

Manusia itu adalah pena kehidupan dan pengalaman adalah

rangkaian bait kalimat yang mereka tuliskan,

sedangkan dunia 

adalah kertas putih yang segera hilang .

Tinggal arsip kenangan yang 

dibaca ulang kemudian dibuang.

Manusia menulis kisah hidupnya halaman demi halaman ,tetapi mereka tidak pernah

sadar setiap halaman yang dibuka akan 

mendekati halaman terakhir dan kesimpulan .

Betapapun jilid kehidupan menumpuk menjulang memenuhi 

angkasa tiada batas ,tetapi sang mentari tak 

pernah sekali pun mau

tahu. Dia tetap setia dengan tugasnya membagi cahaya kepada mereka 

yang datang dan berlalu

Lelah batin menyaksikan topeng-topeng manusia.

Betapa rapuhnya harga diri.

Betapa ruginya mempunyai hati tanpa nurani.

Tak perlu butuh waktu berselang dia pun berganti topeng.

Mainkan peran sang penjilat karena diri dapat manfaat kemudian menghujat

dan mengumpat mainkan peran pengkhianat .

Bagaikan pucuk bambu 

yang lentur dia bergerak ke mana arah angin berembus .

Mereka yang jujur terpuruk hancur sedang 

curang menang menantang .

Prajurit gugur lupa dibilang,panglima menjulang riauh pujaan.

Para badut politik janji sambil membagi nasi 

bermimpi kursi dan korupsi .

Inikah kisah Dunia ?

Memasuki puisi DUNIA untuk sampai pada world view' yang merupakan pandangan dunia pengarang atau penyairnya memang bukan pekerjaan mudah. Oleh sebab itu, pandangan penyairnya tentang pandangan dunia berkembang sebagai hasil dari situasi yang dihadapi oleh subyek kolektif yang memilikinya. Dari pandangan ini tampak bahwa pandangan tentang dunia merupakan sebuah sintetis akumulatif kehidupan yang sangat abstrak. Ia akan menggerakkan aktivitas hidup yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari manusia seperti baris ini / Seorang nabi mangkat diiringi tangis para perindu dan para malaikat/ yang berbaris mengelepakkan sayapnya/ seraya memuji bersholawat/. Sang penyair mencoba mencerna dan menceritakan kematian Nabi yang diiringi isak tangis sedih dan haru dengan bersholawat yang sampai sekarang terus dan masih dibuat zikir para pecinta dan perindu keagungan Allah SWT. Sholawat itu sendiri telah mengguncangkan arasi-Nya, dan seluruh mahkluk di alam semesta ini. Juga menjadi zikir sir maupun zikir bersama di masjid, musholla, atau di rumah oleh umat Islam untuk mendapatkan syafaat di suatu hari nanti seperti pada baris berikutnya ini, / Mengguncangkan arasy menggurat/. Sedang dari kejauhan, para sahabat dan kaum salihin arifin menapaki/ jalan yang sama diantarkan hangatnya, cahaya, memeluknya dengan dekapan doa-doa pujian harap syafaat/.

Pada bait kedua, sang penyair mencoba melihat hubungan kehidupan manusia tragik dengan manusia lain, yang kadang-kadang bersikap paradoksal. Ia juga melihat manusia lain membiarkan menghancurkan dirinya sendiri seperti pada baris berikutnya ini, / Nun di jalan yang berseberangan, seperti tikus yang ketakutan/ rombongan pengembara yang telah/ menguras habis kehidupannya/ menukar nikmat berlimpah dengan kenikmatan dunia yang sedikit/, Kini terhuyung-huyung menanggung/ beban berat diiringi kilat dan guntur yang melecut tubuhnya dengan api/. Dari situlah, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa nafsu dan syahwat aneka kerakusan akan membakar diri sendiri.

Kembali sang penyair menceritakan keadaan yang ketidakpedulian terhadap bahaya nafsu yang bisa membakar diri mereka sendiri seperti pada bait ketiga ini,/ Tetapi, seakan tidak peduli, toh matahari tetap setia menampakkan/ dirinya membagi cahaya mengapit/ waktu mengantarkan orang-orang datang/ dan berlalu/. Dari situlah, nampak ketidakpedulian terjadi secara masif. Dan itu terlihat sekali pada kehidupan di sekitar kita yang cukup kuat gambaran keindividuan melalui metafora dan diksi di atas. Tapi, ketika membaca baris berikutnya terlihat sekali sang penyair mengungkapkan melalui penggambaran bahwa dunia tetap berputar sebagaimana laiknya, yang ia lukiskan seperti ini, /Dunia tetap setia berkisah tentang pencarian/ kebenaran perindu cinta yang senyumnya/ merekah bebungaan/ sambil mereguk derita; ataukah kisah para pemuja dunia yang air matanya/ meleleh-leleh mengakhiri pestanya yang telah usai/. Betul-betul suasana penceritaan yang kontradiksi; ada manusia sangat bernafsu keduniawian, ada manusia yang hidup selalu mencari bimbingan kebenaran melalui pemusatan-pemusatan atau konsentrasi batin yang penuh.

/ Manusia itu adalah pena kehidupan/ adalah suatu penggambaran yang sangat tepat, karena manusia selalu bergerak dan berpikir untuk dapat mencatat dan memperbaiki suatu kesalahan. Pengalaman hidup adalah guru bagi perbaikan-perbaikan dari keseluruhan kesalahan yang pernah diperbuat manusia seperti baris berikutnya ini, / dan pengalaman adalah rangkaian bait kalimat yang mereka tuliskan/. Dan, pada baris berikutnya sang penyair menceritakan dunia akan hilang dan hanya akan menjadi kenangan, lalu dibuang begitu saja seperti yang ia gambarkan melalui baris berikutnya, / sedang dunia/ adalah kertas putih yang segera hilang/. Tinggal arsip kenangan yang dibaca ulang kemudian dibuang/.

Semua perilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitas, maksudnya selalu berupaya respon terhadap lingkungannya. Perilaku manusia adalah usaha yang dilakukan secara tetap menuju transendensi, yaitu aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan sehari-hari dari semua aksi sosial dalam halaman-halaman kehidupan yang ia gambarkan melalui bait lima ini, / Manusia menulis kisah hidupnya halaman demi halaman, tetapi mereka tidak pernah/ sadar setiap halaman yang dibuka akan/ mendekati halaman terakhir dan kesimpulan/. Yang jelas, manusia menulis kisah atau sejarah hidupnya kadang di luar bawah sadarnya. Kadang kehidupan manusia juga mempunyai proses pencapaian pemahaman makna metode dialektik berlangsung melingkar-lingkar terus-menerus, mengikuti sistem sirkel, tanpa ada kejelasan titik awal dan akhir.

Manakala penyair meredakan apa yang bergejolak dalam hatinya, ia mengenangkannya dengan apa yang dilihatnya, yaitu pada bait enam yang berbunyi, / Betapa jilid kehidupan menumpuk/ menjulang memenuhi/ angkasa tiada batas, tetapi sang mentari, /tak/ pernah sekali pun mau tahu/. Dia tetap setia dengan tugasnya/ membagi cahaya kepada mereka/ yang datang dan berlalu/. Dari situlah terlihat diksi SANG MENTARI menjadi kekuatan. Terlihat sekali bahwa penyairnya mencatat apa yang ia lihat dan rasakan melalui pendekatan batinnya.

Sebagai penyair haruslah peka terhadap kejadian di masyarakat. Peka terhadap kehidupan di sekitarnya, peka terhadap kecurangan, penindasan dan kesengsaraan manusia. Sebab, penyair adalah cermin dari masyarakat. Oleh sebab itu, ia mencoba menulis apa yang dilihatnya melalui satir halus sebagai berikut ini, / Tak perlu butuh waktu berselang dia pun berganti topeng/. Memang banyak sekali kenyataan dan fakta, bahwa muda mudi dan para pejabat kita sering berganti-ganti topeng, dan suka menjilat orang lebih atas dari dirinya. Setelah mendapat keuntungan dan keberuntungan, mulailah mereka berganti wajah untuk menutupi keburukannya agar selalu terlihat baik yang membuat sang penyair gelisah dan letih seperti bait ini, / Letih batin menyaksikan topeng-topeng manusia/. Betapa rapuhnya harga diri/. Betapa ruginya mempunyai hati tanpa nurani/.

Menurut penyair, kehidupan masyarakat sudah sangat bobrok dikarenakan telah meninggalkan budaya leluhurnya sendiri, yaitu budi pekerti yang semakin hari semakin luntur oleh budaya praktis dan individual, seperti yang tergambar dan diungkapkan melalui bait berikut ini, / Tak perlu butuh waktu berselang dia pun berganti topeng/. Mainkan peran sang penjilat karena diri/ dapat manfaat kemudian menghujat/. Betul-betul sang penyair mengungkapkan kejadian dalam keadaan yang sekarang sedang terlihat telanjang.

Pada bait terakhir, ia juga menceritakan pengkhianatan para pembesar, penguasa yang kong kalikong dengan sesama rekannya untuk mendapatkan yang mereka mau. Badut-badut politik pandai menarik simpati dengan bertopeng janji-janji palsu yang seakan terlihat mudah untuk diimplementasikan. Padahal itu hanya sandiwara dan tipu daya demi kekuasaan, tahta dan harta seperti yang tergambar dalam baris berikutnya ini, / dan mengumpat mainkan perang pengkhianat/. Untuk menutupi keburukan dan kekeliruan mereka demi ambisi. / Bagaikan pucuk bambu/ yang lentur dia bergerak ke mana arah angin berhembus/. Mereka yang jujur terpuruk hancur/. Ya ya, memang yang jujur selalu disungkurkan demi keinginan sesaat. / sedang curang menang menantang/. Prajurit gugur lupa dibilang panglima/ menjulang riuh pujaan/. Para badut politik janji sambil membagi nasi/ bermimpi kursi dan korupsi/. Inikah kisah dunia/? Betul-betul puisi yang merindingkan bulu kuduk.

Begitulah karya sastra seperti puisi di atas yang bermuatan pandangan dunia tragik, kadang bagi orang fanatik sering memerahkan telinga. Namun demikian, hal itu fakta kemanusiaan yang sulit disangkal, karena manusia sering bersikap mencari terus-menerus terhadap kebenaran.

Sekarputih, 1732019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun