Dialami dari kisah nyata yang sampai sekarang masih belum berani saya ceritakan. Kali ini, semoga bisa berbagi makna dengan para pembaca kompasiana yang budiman sekalian. Tentunya semua tokoh dan tempat, dalam fiksi ini adalah bukan nama yang sebenarnya. Terimakasih.
Kematian, mungkin sebagian orang mengatakannya sebagai sebuah rahasia yang paling gelap dalam hidup, getir, kelam, dan sedikit sekali jawaban tentang apa itu mati. Dalam sebuah buku Definition Of Death, para pakar biologi, fisikawan, dan beberapa ilmuwan kimia menyebutkan bahwa mati merupakan penghentian permanen dari semua fungsi vital atau proses kehidupan pada sebuah organisme atau sel. Tapi, tetap saja, bagiku mati adalah awal dari sebuah akhir, tentunya bukan dengan cara yang disengaja, karena itu bukan kuasa kita. Seperti setahun lalu, di atas atap gedung kampus ini, di gelap malam tepat pada jam-jam ini, seorang mahasiswi perempuan jatuh dari atap lantai ujung tertinggi gedung. Meskipun ada beberapa sumber yang mengatakan ia bunuh diri, sebagian yang lain bilang kematiannya adalah sekenario pembunuhan yang disebabkan masalah cinta, bahkan yang lain yang lebih gila lagi mengatakan kematiannya adalah karena kutukan setan penjaga atap gedung ini. Entahlah. Bukan semua itu yang ada di otakku sekarang.
Aku hanya khawatir, sangat khawatir. Karena perempuan yang mengisi relung terdalam hatiku (meskipun ia tak pernah tahu) sedang termenung di tepi atap gedung kampus malam ini. Aku tak mampu melangkah, tak mampu berkata. Sangat tak mampu malah. Semua kacau dalam otakku. Semakin kuat aku berusaha melangkah, semakin lemah kakiku seperti tak bernyawa. Beberapa analisis teori berhamburan dalam bayanganku, barangkali bisa membantu. Entah tentang psikiologi remaja mungkin? Persamaan-persamaan fisika yang boleh jadi bisa kuterapkan di sini, prediksi arah angin mungkinkah berpengaruh? Dan kenapa transformasi rasi bintang pun yang biasanya kuharapkan mampu memberiku petunjuk apa yang harus kulakukan saat ini. Sekali lagi aku tak tahu, sangat tidak tahu. Aku tidak bisa apa-apa.
*********************
"Eh, nggak perlu dilihatin mulu gitu.... Kalau lo tertarik? Kenalan aja Yud, gue kenal teman dekatnya kok! Namanya Hana. Biasa, gebetan baru gue, bujubune benar-benar cantik gila tuh si Hana. Seluruh kampus ntu sudah pada kenal siapa yang namanya Hana, bakalan beruntung banget dah gue kalau bisa jadiin dia pacar, udah cantik, pintar, baik, frendly banget orangnya. Sempurna dah pokoknya, " Sapa Mikah, teman kuliahku, satu angkatan namun beda program studi, asal dari Jakarta, orang betawi asli sedangkan aku dari Semarang, dan dia juga terkenal playboy, kita teman baik, karena memang sejak awal masuk kuliah kita sudah bareng.
Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja dia muncul didepan meja makanku. Mengganggu makan malam yang memang setiap hari kulakukan di warung ini. Warung depan kosannya, kosan Nimma.
"Siapa yang lihat Nimma... wong saya lagi mengingat-ingat sesuatu e," kataku berusaha menyangkal. Sekalipun kelihatan sekali itu alasan yang memang paling bodoh untuk menyangkal. Siapa juga yang bisa tahan? Untuk tidak memandang paras ranum seseorang yang disukai, jika jelas-jelas di depannya sedang ada orang yang selalu dirindukan. Senyumnya begitu indah, sangat indah. Tapi, nampaknya Nimma sedang tidak tersenyum malam ini.
"Nah ntu, lo mengakui! Siapa juga yang bilang lo ngeliatin Nimma, udah ngaku aje, hahahaaaa... Teman gue bisa juga suka cewek! Gue kira hidup lo bakal lo habisin buat baca buku sama di perpus aja Yud, ngerjain tugas, ikut kompetisi ilmiah, jaga lab, oiya bikin laporan terus mimpin rapat... dah ga berwarna banget hidup lo Yud, gue benar-benar bersyukur lo mau ngelihatin cewek.... untung ma..."
"Bu, sudah bu! Nasi, sayur, gorengannya dua, sa..." Aku berdiri, Â belum selesai aku memutus kata-kata Mikah, dia sudah menarik tanganku untuk duduk kembali. Teknik seperti ini sering aku lakukan untuk membuatnya diam, karena kalau sampai Mikah sudah tertawa sambil meledek, sudah pasti sampai satu jam dia juga tidak akan berhenti tertawa sambil bicara terus-terusan.
"Iya, iya masbro.... Gue taubat dah, Â kagak lagi-lagi..."