Membongkar-bongkar lemari kayu
Ketemu kebaya lamamu
Ubun-ubunku serasa terbuka
Aku terseret arus balik masa silam
Waktu kau terbangun oleh pecah tangisku
Kau teteki aku dalam gendongan
Sambil kau nyanyikan kidung kebesaran Tuhan
Tuhan Maha Cinta
Tuhan Pemberi Bahagia
Bahagiakanlah anakku,
sebagaimana Engkau dulu membuatku bahagia mengandungnya
Tuhanku Maha Penyayang,
Tangis anakku adalah protesnya terhadap kelaparan
Maka redakanlah tangisnya dengan susu murni payudaraku,
kenyangkanlah perutnya dan nyenyakkanlah tidurnya
Agar segera bisa kutinggal kerja.
Kebaya tua
Warnanya pudar
Baunya apek
Aku tergerus impian masa depan
Telah lama kutinggalkan Ibu
di ranjang tua
di tumah tua
di desa tua
Lama aku tak berkabar
Sebab mimpiku terlalu besar dan berwarna seperti papan-papan reklame kota
Mimpiku terlalu indah!
Aku bisa merdeka!
Aku bisa urakan!
Aku bisa bedigasan!
Aku bisa menguasai kota!
Aku bisa menjual desa!
Aku bisa melempar piring makanan di istana!
Aku bisa melanggar kode-kode etik!
Aku bisa naik helikopter!
Aku bisa terbang menyebrangi lautan!
Aku bisa kencing di luar negeri!
Aku bisa berak di pintu gerbang sekolahan!
Aku bisa melepas singa-singaku ke jalanan untuk menakuti orang-orang!
Aku bisa memesan pelacur, aku bisa memesan undang-undang!
Aku bisa jadi juara catur, aku jago mengatur!
Mimpiku besar dan berwarna
Aku bisa berenang di api
Aku bisa kebal meski ditembak dan diprotes berulangkali
Aku bisa membacakan puisi paling sedih
Aku bisa menjadikan hutan hamparan pabrik, kebun sawit dan kubangan tambang
Aku bisa mencetak bertrilyun buruh
Aku bisa membuang limbah di lembah sungai
Aku bisa memperkosa bumi
Aku bisa melahirkan tikus-tikus
Aku bisa mengamankan jual beli kursi jabatan
Aku bisa memukaumu dengan pertunjukan puisi paling sedihku
Aku bisa mendatangkan kemarau lebih cepat
Aku bisa menunda turunnya hujan seribu tahun sekali
Aku bisa melihat kematian lebih cepat
Aku bisa mendengar suara tangis kelahiran seribu tahun sekali
Aku bisa terbiasa dengan semuanya itu!
Aku bisa memukau jagad raya mimpiku yang besar dan berwarna dengan puisi paling sedih.
Dan suara tangis paling tulus dari sudut kumuh, barisan penonton dekil menyambut akhir puisi paling sedihku dalam jagad raya mimpi besarku yang berwarna!
Tangisnya tak lama, tulus dan menggetarkanku
Ia sudahi tangisnya, ia seka air matanya dengan lengan kebayanya
Ia menerobos barisan setan-setan yang menjaga panggung pertunjukkan ini!
Panggung pertunjukan jadi arena baku hantam
Ia habisi setan-setan.
Ia menang.
Kemudian,
Ia naik ke mimbar tanpa gentar
Ia merapal Suwuk Manikcemar
Ia teriak
Aaaaakkkkkkk!!!
Lalu mati.
Para peziarah agung yang datang dari masa purba
menyebarkan kelopak-kelopak mawar
di detik itu juga mimpiku yang besar dan berwarna jadi kuburan baru
Aku terbangun
Aku teringat
Desa tua
Rumah tua
Ranjang tua
Perempuan tua
Aku kirimi ia surat beberapa kali:
Anakmu sehat
Berkat doa yang kau langitkan setiap hari.
Bagaimana kabarmu Bu?
Semoga engkau sehat.
Aku jarang membumikan doamu
Kota ini terlalu sibuk
Kota ini tidak pernah tidur
Kota ini terlalu bising
Tak ada suara jangkrik dari arah sungai kampung halaman yang tak bernama
Kota ini hanya mengenal suara tikus di loteng-loteng
Kota ini begitu suram, maka majikan-majikan perusahaan menghiasnya dengan papan-papan reklame iklan
Warna-warni
Merah, kuning, hijau di langit yang biru
lebam seorang dipukuli massa karena mencuri sandal di masjid
pencuri itu mengaduh
bukan untuk lebam di wajahnya
tapi untuk kakinya yang luka
oleh kerikil-kerikil reformasi
Ah Bu, engkau yang tua, yang selalu anggun dengan kebaya tua, yang menahan rindu pada anakmu di rumah tua, yang kerja hidup-mati di desa tua
tentu tak paham apa itu arti reformasi.
Reformasi itu seperti sawah yang usai engkau panen dan sebelum engkau tanduri dengan winih padi musti dibajak dulu.
Ya, dibajak dulu!
Begitulah kedaan anakmu di kota yang tak pernah tidur ini
Engkau tak usah khawatir
Anakmu cukup tidur
Meski kerap mimpi buruk
Kadang anakmu juga tidak bermimpi sama sekali
Tidur. Ya tidur saja. Tidak ada yang peduli.
Bagaimana denganmu Bu? Apa yang Engkau impikan di ranjang tua, di rumah tua, di desa tua?
Apakah engkau bermimpi aku kirimi surat setiap hari?
Tidak bu, tidak.
Mimpimu itu terlalu besar dan satu warna.
Ya, satu warna!
Aku bisa saja menulis surat setiap hari atau menulis puisi paling sedih
Dengan bolpoin hitam
Ya, aku terlalu lapar untuk beli bolpoin warni-warni
Merah, kuning, hijau dan biru
Aku bisa saja menulis dan mengirimi engkau surat setiap hari
Aku tidak keberatan.
Aku tidak akan kehabisan cerita di kota yang tidak pernah tidur dan tidak pernah berhenti bicara ini
Aku bisa menulis semuanya
Aku bisa menulis tentang pabrik, tentang majikan yang tidak pernah terpukau bulan purnama rontok dari rahim buruh.
Kata kebanyakan temanku menirukan majikan, "tidak ada kompromi, tidak ada kasihan, sebab waktu adalah uang. Kerja. Kerja. Kerja. Awas kalau malas! Saya pecat!"
Pernah sekali satu diantara mereka pingsan karena nyeri menggugurkan bulan. Minyak kayu putih dibaukan ke hidungnya, balsam dioleskan ke pelipisnya. Ia terbangun lalu ditanya, "Kamu masih kuat kan?".
Ia menjawab, "Bagaimana mungkin orang kuat bertahan menggugurkan bulan sambil dipaksa berdiri delapan jam?"
Teman-teman kerjanya tak kuasa menolongnya lebih jauh. Mereka hanya menolong membangunkannya. Ia sendiri yang musti menyuarakan ketertindasannya.
"Bagaimana mungkin kamu menggugurkan bulan? Sedangkan kamu tidak pernah dikawini matahari?" sangkal majikan kepadanya.
"Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Rahim tidak menggetarkan hatimu, melihat bulan gugur dari rahim kami?"
"Bagaimana Tuhan percaya kalau tak ada bukti?"
"Jangan seret-seret Tuhan Pemberi Damai"
"Lalu apa maumu?"
"Aku mau kamu hargai kami seperti ibumu"
"Ibuku mengajariku untuk jujur. Apa buktinya kalau dari rahimmu bulan gugur?"
"Kamu mau bukti apa, ha?! Aku pingsan tadi bukankah kau saksikan sendiri? Kurang apa?"
"Aku mau bukti sesuai undang-undang. Negara ini negara hukum. Bukan negara bukan-bukan."
Temanku perempuan itu dibopong ke kamar mandi oleh rekan kerjanya. Ia kembali dengan bukti darah di kapas putih. Hanya ada dua warna : merah dan putih yang mengingatkannya pada bendera negrinya. Merah artinya berani. Putih artinya suci. Ia tekankan dalam hatinya kejujuran, ia buang dalam hatinya ketakutan.
Ia beri majikan bukti. Majikan memberinya cuti. Selamanya.
Ia kehilangan kerja. Aku bertanya padanya, "Lalu apa yang kamu lakukan?"
"Aku menggugat!" jawabnya tegas. "Aku akan tuntut hak-hakku, aku akan perjuangkan nasib teman-teman buruh perempuan sesamaku. Aku akan gugat majikan di pabrik, aku akan gugat majikan ke pengadilan industrial. Meski aku tidak berharap banyak menang dan hak-hakku diberikan, dan kehormatanku dipulihkan. Sebab aku sudah tidak begitu percaya di pengadilan ada keadilan. Kata banyak orang, para hakim kalah galak daripada majikan. Sementara teman-temanku kalah bandel dari majikan. Mereka tidak berani memprotes keterindasan nasib temannya. Mereka tidak berani mogok bersama, mereka takut dipecat, sebagaimana aku. Mereka ingat pada anak-anaknya sebagaimana aku ingat kepada ibuku. Mereka dan aku tidak mau keluarganya kelaparan. Tapi bukankah Tuhan Maha Kaya dan Maha Penjamin Rizeki?"
Aku masih punya banyak cerita Bu,
Apakah kau senang kuceritakan tentang seseorang yang tengah kucintai? Sebentar lagi kau akan punya mantu yang baik budinya.
Aku suka matanya Bu. Matanya seperti matamu. Ketika aku melihat matanya, aku melihat laut mencintai air. Ia membenci penghinaan kemanusiaan sepertimu Bu. Ia menyukai persahabatan sepertimu.
Ia suka menulis puisi. Katanya agar tidak gila. Kota yang tidak pernah tidur ini, dan tidak pernah hening ini, lama-lama bikin orang setres.
Banyak orang gila di jalan-jalan, di gedung pemerintahan, di gedung pengadilan, di mall, di restoran, di pasar, di kampus, di tempat ibadah, di terminal, di stasiun, di bandara, di rumah-rumah megah, di hotel dan apartemen, bahkan di gubuk-gubuk liar.
Begitulah Bu, karena ia suka puisi aku mulai belajar tentang khazanah bunyi
Aku belajar berguru pada Burung Merak, pada Jalak Bali, pada Danau Toba dan pada Binatang Jalang
Aku belajar pada mereka
Mereka menggiringku seperti angin menggugurkan daun-daun kering
Gugur.
Jatuh tanpa bunyi
Seperti masa lalu jatuh menimpa ubun-ubunku
Segala ambisi mengutuk dan membebaskan diri dari hidup melarat
Aku kenang semuanya
Seperti aku mencium kebaya tua ini
yang apek!
Aku masih ingat ketika kau suapi aku dengan tajin
kebahagiaan sederhana itu dikoyak-moyak lintah darat
Ia bicara keras di hadapanmu dan dihadapanku.
Aku tak paham kata-katanya, tapi aku membaca ketentraman di wajahmu sirna
Hari itu juga aku mengutuk kemiskinan.
Dari hari ke hari aku tumbuh besar
Seperti katamu, "Makan yang banyak ya Nak, biar kamu lekas tumbuh besar"
Aku menurut.
Aku makan nasi dan garam banyak-banyak
Pokoknya telan! Telan! Telan!
Lalu pada bulan sabit ke sembilan puluh sembilan sejak hari dimana aku mengutuk kemiskinan,
kutingglkan desa tua, rumah tua, ranjang tua
dan kucium tanganmu
kau ciumi aku, kau belai rambutku
Aku menatap matamu, aku melihat air mencintai laut
Aku beranjak, ku lihat kau dari kejauhan
Berlinang air mata
Aku tersenyum
Dan kau seka tangismu dengan lengan kebaya
Dan doa kulangitkan
Tuhan Maha Cinta
Tuhan Pemberi Bahagia
Bahagiakanlah Ibuku,
sebagaimana Engkau dulu membuatku bahagia disusuinya
Tuhanku Maha Penyayang,
Tangis Ibuku adalah kecemasan terhadap kepergian
Maka redakanlah tangisnya dengan kuat ingatku padanya,
Tenangkan hatinya dan rekahkanlah senyumnya
Agar segera bisa kutinggal kerja
Lalu tibalah aku di kota
Aku baru menginjakkan kaki.
Di sana,
di bawah papan reklame yang besar dan berwarna seseorang berteriak
Aaaaaaaaaakkkkkk
dan mati.
Madiun, 3 Juli 2020
Eko Nurwahyudin, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mahasiswa akhir di Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H