Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Blues Kebaya Tua

4 Juli 2020   09:02 Diperbarui: 4 Juli 2020   09:00 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membongkar-bongkar lemari kayu

Ketemu kebaya lamamu

Ubun-ubunku serasa terbuka

Aku terseret arus balik masa silam

Waktu kau terbangun oleh pecah tangisku

Kau teteki aku dalam gendongan

Sambil kau nyanyikan kidung kebesaran Tuhan

Tuhan Maha Cinta

Tuhan Pemberi Bahagia

Bahagiakanlah anakku,

sebagaimana Engkau dulu membuatku bahagia mengandungnya

Tuhanku Maha Penyayang,

Tangis anakku adalah protesnya terhadap kelaparan

Maka redakanlah tangisnya dengan susu murni payudaraku,

kenyangkanlah perutnya dan nyenyakkanlah tidurnya

Agar segera bisa kutinggal kerja.

Kebaya tua

Warnanya pudar

Baunya apek

Aku tergerus impian masa depan

Telah lama kutinggalkan Ibu

di ranjang tua

di tumah tua

di desa tua

Lama aku tak berkabar

Sebab mimpiku terlalu besar dan berwarna seperti papan-papan reklame kota

Mimpiku terlalu indah!

Aku bisa merdeka!

Aku bisa urakan!

Aku bisa bedigasan!

Aku bisa menguasai kota!

Aku bisa menjual desa!

Aku bisa melempar piring makanan di istana!

Aku bisa melanggar kode-kode etik!

Aku bisa naik helikopter!

Aku bisa terbang menyebrangi lautan!

Aku bisa kencing di luar negeri!

Aku bisa berak di pintu gerbang sekolahan!

Aku bisa melepas singa-singaku ke jalanan untuk menakuti orang-orang!

Aku bisa memesan pelacur, aku bisa memesan undang-undang!

Aku bisa jadi juara catur, aku jago mengatur!

Mimpiku besar dan berwarna

Aku bisa berenang di api

Aku bisa kebal meski ditembak dan diprotes berulangkali

Aku bisa membacakan puisi paling sedih

Aku bisa menjadikan hutan hamparan pabrik, kebun sawit dan kubangan tambang

Aku bisa mencetak bertrilyun buruh

Aku bisa membuang limbah di lembah sungai

Aku bisa memperkosa bumi

Aku bisa melahirkan tikus-tikus

Aku bisa mengamankan jual beli kursi jabatan

Aku bisa memukaumu dengan pertunjukan puisi paling sedihku

Aku bisa mendatangkan kemarau lebih cepat

Aku bisa menunda turunnya hujan seribu tahun sekali

Aku bisa melihat kematian lebih cepat

Aku bisa mendengar suara tangis kelahiran seribu tahun sekali

Aku bisa terbiasa dengan semuanya itu!

Aku bisa memukau jagad raya mimpiku yang besar dan berwarna dengan puisi paling sedih.

Dan suara tangis paling tulus dari sudut kumuh, barisan penonton dekil menyambut akhir puisi paling sedihku dalam jagad raya mimpi besarku yang berwarna!

Tangisnya tak lama, tulus dan menggetarkanku

Ia sudahi tangisnya, ia seka air matanya dengan lengan kebayanya

Ia menerobos barisan setan-setan yang menjaga panggung pertunjukkan ini!

Panggung pertunjukan jadi arena baku hantam

Ia habisi setan-setan.

Ia menang.

Kemudian,

Ia naik ke mimbar tanpa gentar

Ia merapal Suwuk Manikcemar

Ia teriak

Aaaaakkkkkkk!!!

Lalu mati.

Para peziarah agung yang datang dari masa purba

menyebarkan kelopak-kelopak mawar

di detik itu juga mimpiku yang besar dan berwarna jadi kuburan baru

Aku terbangun

Aku teringat

Desa tua

Rumah tua

Ranjang tua

Perempuan tua

Aku kirimi ia surat beberapa kali:

Anakmu sehat

Berkat doa yang kau langitkan setiap hari.

Bagaimana kabarmu Bu?

Semoga engkau sehat.

Aku jarang membumikan doamu

Kota ini terlalu sibuk

Kota ini tidak pernah tidur

Kota ini terlalu bising

Tak ada suara jangkrik dari arah sungai kampung halaman yang tak bernama

Kota ini hanya mengenal suara tikus di loteng-loteng

Kota ini begitu suram, maka majikan-majikan perusahaan menghiasnya dengan papan-papan reklame iklan

Warna-warni

Merah, kuning, hijau di langit yang biru

lebam seorang dipukuli massa karena mencuri sandal di masjid

pencuri itu mengaduh

bukan untuk lebam di wajahnya

tapi untuk kakinya yang luka

oleh kerikil-kerikil reformasi

Ah Bu, engkau yang tua, yang selalu anggun dengan kebaya tua, yang menahan rindu pada anakmu di rumah tua, yang kerja hidup-mati di desa tua

tentu tak paham apa itu arti reformasi.

Reformasi itu seperti sawah yang usai engkau panen dan sebelum engkau tanduri dengan winih padi musti dibajak dulu.

Ya, dibajak dulu!

Begitulah kedaan anakmu di kota yang tak pernah tidur ini

Engkau tak usah khawatir

Anakmu cukup tidur

Meski kerap mimpi buruk

Kadang anakmu juga tidak bermimpi sama sekali

Tidur. Ya tidur saja. Tidak ada yang peduli.

Bagaimana denganmu Bu? Apa yang Engkau impikan di ranjang tua, di rumah tua, di desa tua?

Apakah engkau bermimpi aku kirimi surat setiap hari?

Tidak bu, tidak.

Mimpimu itu terlalu besar dan satu warna.

Ya, satu warna!

Aku bisa saja menulis surat setiap hari atau menulis puisi paling sedih

Dengan bolpoin hitam

Ya, aku terlalu lapar untuk beli bolpoin warni-warni

Merah, kuning, hijau dan biru

Aku bisa saja menulis dan mengirimi engkau surat setiap hari

Aku tidak keberatan.

Aku tidak akan kehabisan cerita di kota yang tidak pernah tidur dan tidak pernah berhenti bicara ini

Aku bisa menulis semuanya

Aku bisa menulis tentang pabrik, tentang majikan yang tidak pernah terpukau bulan purnama rontok dari rahim buruh.

Kata kebanyakan temanku menirukan majikan, "tidak ada kompromi, tidak ada kasihan, sebab waktu adalah uang. Kerja. Kerja. Kerja. Awas kalau malas! Saya pecat!"

Pernah sekali satu diantara mereka pingsan karena nyeri menggugurkan bulan. Minyak kayu putih dibaukan ke hidungnya, balsam dioleskan ke pelipisnya. Ia terbangun lalu ditanya, "Kamu masih kuat kan?".

Ia menjawab, "Bagaimana mungkin orang kuat bertahan menggugurkan bulan sambil dipaksa berdiri delapan jam?"

Teman-teman kerjanya tak kuasa menolongnya lebih jauh. Mereka hanya menolong membangunkannya. Ia sendiri yang musti menyuarakan ketertindasannya.

"Bagaimana mungkin kamu menggugurkan bulan? Sedangkan kamu tidak pernah dikawini matahari?" sangkal majikan kepadanya.

"Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Rahim tidak menggetarkan hatimu, melihat bulan gugur dari rahim kami?"

"Bagaimana Tuhan percaya kalau tak ada bukti?"

"Jangan seret-seret Tuhan Pemberi Damai"

"Lalu apa maumu?"

"Aku mau kamu hargai kami seperti ibumu"

"Ibuku mengajariku untuk jujur. Apa buktinya kalau dari rahimmu bulan gugur?"

"Kamu mau bukti apa, ha?! Aku pingsan tadi bukankah kau saksikan sendiri? Kurang apa?"

"Aku mau bukti sesuai undang-undang. Negara ini negara hukum. Bukan negara bukan-bukan."

Temanku perempuan itu dibopong ke kamar mandi oleh rekan kerjanya. Ia kembali dengan bukti darah di kapas putih. Hanya ada dua warna : merah dan putih yang mengingatkannya pada bendera negrinya. Merah artinya berani. Putih artinya suci. Ia tekankan dalam hatinya kejujuran, ia buang dalam hatinya ketakutan.

Ia beri majikan bukti. Majikan memberinya cuti. Selamanya.

Ia kehilangan kerja. Aku bertanya padanya, "Lalu apa yang kamu lakukan?"

"Aku menggugat!" jawabnya tegas. "Aku akan tuntut hak-hakku, aku akan perjuangkan nasib teman-teman buruh perempuan sesamaku. Aku akan gugat majikan di pabrik, aku akan gugat majikan ke pengadilan industrial. Meski aku tidak berharap banyak menang dan hak-hakku diberikan, dan kehormatanku dipulihkan. Sebab aku sudah tidak begitu percaya di pengadilan ada keadilan. Kata banyak orang, para hakim kalah galak daripada majikan. Sementara teman-temanku kalah bandel dari majikan. Mereka tidak berani memprotes keterindasan nasib temannya. Mereka tidak berani mogok bersama, mereka takut dipecat, sebagaimana aku. Mereka ingat pada anak-anaknya sebagaimana aku ingat kepada ibuku. Mereka dan aku tidak mau keluarganya kelaparan. Tapi bukankah Tuhan Maha Kaya dan Maha Penjamin Rizeki?"

Aku masih punya banyak cerita Bu,

Apakah kau senang kuceritakan tentang seseorang yang tengah kucintai? Sebentar lagi kau akan punya mantu yang baik budinya.

Aku suka matanya Bu. Matanya seperti matamu. Ketika aku melihat matanya, aku melihat laut mencintai air. Ia membenci penghinaan kemanusiaan sepertimu Bu. Ia menyukai persahabatan sepertimu.

Ia suka menulis puisi. Katanya agar tidak gila. Kota yang tidak pernah tidur ini, dan tidak pernah hening ini, lama-lama bikin orang setres.

Banyak orang gila di jalan-jalan, di gedung pemerintahan, di gedung pengadilan, di mall, di restoran, di pasar, di kampus, di tempat ibadah, di terminal, di stasiun, di bandara, di rumah-rumah megah, di hotel dan apartemen, bahkan di gubuk-gubuk liar.

Begitulah Bu, karena ia suka puisi aku mulai belajar tentang khazanah bunyi

Aku belajar berguru pada Burung Merak, pada Jalak Bali, pada Danau Toba dan pada Binatang Jalang

Aku belajar pada mereka

Mereka menggiringku seperti angin menggugurkan daun-daun kering

Gugur.

Jatuh tanpa bunyi

Seperti masa lalu jatuh menimpa ubun-ubunku

Segala ambisi mengutuk dan membebaskan diri dari hidup melarat

Aku kenang semuanya

Seperti aku mencium kebaya tua ini

yang apek!

Aku masih ingat ketika kau suapi aku dengan tajin

kebahagiaan sederhana itu dikoyak-moyak lintah darat

Ia bicara keras di hadapanmu dan dihadapanku.

Aku tak paham kata-katanya, tapi aku membaca ketentraman di wajahmu sirna

Hari itu juga aku mengutuk kemiskinan.

Dari hari ke hari aku tumbuh besar

Seperti katamu, "Makan yang banyak ya Nak, biar kamu lekas tumbuh besar"

Aku menurut.

Aku makan nasi dan garam banyak-banyak

Pokoknya telan! Telan! Telan!

Lalu pada bulan sabit ke sembilan puluh sembilan sejak hari dimana aku mengutuk kemiskinan,

kutingglkan desa tua, rumah tua, ranjang tua

dan kucium tanganmu

kau ciumi aku, kau belai rambutku

Aku menatap matamu, aku melihat air mencintai laut

Aku beranjak, ku lihat kau dari kejauhan

Berlinang air mata

Aku tersenyum

Dan kau seka tangismu dengan lengan kebaya

Dan doa kulangitkan

Tuhan Maha Cinta

Tuhan Pemberi Bahagia

Bahagiakanlah Ibuku,

sebagaimana Engkau dulu membuatku bahagia disusuinya

Tuhanku Maha Penyayang,

Tangis Ibuku adalah kecemasan terhadap kepergian

Maka redakanlah tangisnya dengan kuat ingatku padanya,

Tenangkan hatinya dan rekahkanlah senyumnya

Agar segera bisa kutinggal kerja

Lalu tibalah aku di kota

Aku baru menginjakkan kaki.

Di sana,

di bawah papan reklame yang besar dan berwarna seseorang berteriak

Aaaaaaaaaakkkkkk

dan mati.

Madiun, 3 Juli 2020

Eko Nurwahyudin, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mahasiswa akhir di Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun