"Aku mau kamu hargai kami seperti ibumu"
"Ibuku mengajariku untuk jujur. Apa buktinya kalau dari rahimmu bulan gugur?"
"Kamu mau bukti apa, ha?! Aku pingsan tadi bukankah kau saksikan sendiri? Kurang apa?"
"Aku mau bukti sesuai undang-undang. Negara ini negara hukum. Bukan negara bukan-bukan."
Temanku perempuan itu dibopong ke kamar mandi oleh rekan kerjanya. Ia kembali dengan bukti darah di kapas putih. Hanya ada dua warna : merah dan putih yang mengingatkannya pada bendera negrinya. Merah artinya berani. Putih artinya suci. Ia tekankan dalam hatinya kejujuran, ia buang dalam hatinya ketakutan.
Ia beri majikan bukti. Majikan memberinya cuti. Selamanya.
Ia kehilangan kerja. Aku bertanya padanya, "Lalu apa yang kamu lakukan?"
"Aku menggugat!" jawabnya tegas. "Aku akan tuntut hak-hakku, aku akan perjuangkan nasib teman-teman buruh perempuan sesamaku. Aku akan gugat majikan di pabrik, aku akan gugat majikan ke pengadilan industrial. Meski aku tidak berharap banyak menang dan hak-hakku diberikan, dan kehormatanku dipulihkan. Sebab aku sudah tidak begitu percaya di pengadilan ada keadilan. Kata banyak orang, para hakim kalah galak daripada majikan. Sementara teman-temanku kalah bandel dari majikan. Mereka tidak berani memprotes keterindasan nasib temannya. Mereka tidak berani mogok bersama, mereka takut dipecat, sebagaimana aku. Mereka ingat pada anak-anaknya sebagaimana aku ingat kepada ibuku. Mereka dan aku tidak mau keluarganya kelaparan. Tapi bukankah Tuhan Maha Kaya dan Maha Penjamin Rizeki?"
Aku masih punya banyak cerita Bu,
Apakah kau senang kuceritakan tentang seseorang yang tengah kucintai? Sebentar lagi kau akan punya mantu yang baik budinya.
Aku suka matanya Bu. Matanya seperti matamu. Ketika aku melihat matanya, aku melihat laut mencintai air. Ia membenci penghinaan kemanusiaan sepertimu Bu. Ia menyukai persahabatan sepertimu.