Bapak tampak bahagia. Ia bisa bercengkerama bersama cucu-cucunya secara daring dalam waktu bersamaan. Aku dan ibu turut gembira. Lengkap sudah kami sekeluarga bisa silaturahmi secara daring. Cucu-cucunya pun terlihat bahagia dengan pertemuan secara daring itu. Selama dua jam lebih kami melepas rindu. Beribu kata tak mampu menampung segala rasa yang tercipta dari pertemuan singkat secara daring tadi. Ada sejuta makna yang tersirat. Sebentuk warna yang kelak akan menjadi ciri pembeda dalam sejarah lebaran keluarga kami.
      Lebaran tahun ini sangat terasa berbeda perayaannya di seluruh dunia. Masa pandemi korona yang sudah melanda dunia selama beberapa bulan terakhir ini mengubah segala tatanan yang sudah mapan. Tentu ada hikmah dan dampak bagi kehidupan di masyarakat. Hanya saja terkadang kenangan yang telah silam terlalu indah dan ingin diulang. Semua pasti tidak akan bisa sama.
      Momen saat ini pun pasti kelak akan menjadi kenangan spesial yang selalu dirindukan. Keabadian momen yang tercipta dalam ingatan membuat sesuatu menjadi bermakna. Kita akan pernah merasa kehilangan jika hal yang dirindukan tidak bisa hadir kembali. Kenangan tak bisa lekang oleh waktu, juga tak bisa hilang dalam sekejap. Ia akan selalu dirindukan sepanjang masa.
      Bapak akhirnya sudah bisa kembali tertawa lepas. Hatinya sudah bisa kompromi dengan keadaan. Ia memaklumi alasan anak cucunya yang tidak mudik. semua demi kesehatan dan keselamatan bersama. Beliau pun mulai menerbangkan rindu dalam lantunan doa-doanya. Rindu menjelma dalam rapelan doa yang terbang ke langit. Berharap akan sampai pada mereka yang tersayang.
      Usai pertemuan virtual itu, bapak dan ibu pun menikmati secangkir kopi di serambi rumah. Lebaran kali ini tidak ada tamu yang datang karena ada edaran dari pak lurah yang tidak membolehkan warga saling berkunjung. Kulihat mereka sangat menikmati suara burung berkicau.
      Seiring dengan itu, rintik hujan mulai membasahi semesta. Tetesan demi tetesan menyusup ke pori-pori bumi. Hujan selalu mengingatkanku pada seseorang. Hujan begitu lekat dengan rasa rinduku padanya. Aku pun menatap gerimis dari balik jendela. Anganku melayang saat acara reuni sekaligus halalbihalal saat lebaran tahun lalu.
      "Hai, Hani apa kabarmu?" sapa Riko dengan senyum khasnya.
      "Baik. Alhamdulillah," jawabku singkat saking gugupnya.
      Hampir aku tidak mengenali sosok cowok tinggi dengan hidung mancung itu. Tiga tahun yang lalu ia masih sangat polos. Wajahnya yang imut dan kulitnya yang putih bersih tetap memesona bagiku. Apalagi sekarang makin keren dengan penampilannya yang gaya.
      "Han, itu tuh cowok yang selalu kau rindukan," Anggi sahabatku menggoda dengan senyumnya. Aku pun memerah, menahan malu. Dulu aku sempat naksir padanya. Zaman itu masih tahap naksir-naksiran. Tanpa sempat bersapa atau ngobrol. Masih malu-malu kucing.
      Selama acara halalbihalal berlangsung pikiranku sibuk menerka cowok itu. Tatapan hangatnya, senyumnya yang ramah, dan sapaan lembut yang menggoda. Sampai di penghujung acara ada pembagian hadiah hadir. Namaku disebut sebagai penerima.