Malam Dua Ratus Enam Belas
E Fidiyanto
Dengarlah sayang, malam ini tak terlalu menakutkan
Masih ada waktu kita bercerita soal isi hati
Aku tahu, rindu bukanlah suatu yang asing bagi kita
Namun, rupanya kau pandai menyembunyikan
Adakah pertemuan yang lebih indah dari waktu itu
Saat, aku cium bulu bulu halus di lehermu
Kau menggeliat menahannya
Aku selalu ramah padamu, di setiap pertemuan
Malam itu, kau suguhkan kopi hitam dengan delapan kali adukan
Cangkir porselen bermotif kembang mirip motif kutang yang kau kenakan
Kau lempari aku dengan senyuman, lalu kecupan bibirmu mendarat di keningku yang basah keringat
Tak mungkin aku lupa malam itu.
Kini, kita lama tak bersua
Bercumbu di bawah rembulan yang kadang cemburu
Pun, aku sering mengajakmu bergurau di tengah malam
Sambil kupeluk kau dari belakang
Lebih hangat manakah balutan handuk di tubuhmu dengan pelukanku?
Ini malam, aku merasa suntuk.
Menyusuri jalanan kota yang sama sekali tak ramah
Tentu, ini berbeda saat aku berpetualang menapaki keindahanmu
Dari ujung rambutmu yang hitam, aku mulai menyeka asmara yang sempurna
Selanjutnya, aku tak lagi bisa berkata kata
Ini tak bisa aku bahasakan
Sayang, mari kita dayung bersama sampan kecil yang jatuh dari langit
Itulah yang kita punya. Tentu, ikhtiar nomor satu
Yang jelas, kita tak lupa dengan syahadatain
Atau kalimat kalimat penyejuk yang membuat kita melebur dalam kecintaan
***
Sayang, tak perlu kau risaukan saat aku bepergian
Toh cinta tau ke mana harus pulang
Lagi, aku tak pernah meminta lebih. Cukup suguhkan kopi hitam saat kupulang
Seperti biasa, delapan kali adukan
Dan, aku lebih memilih mendengarkanmu melantunkan ayat ayat
Saat malam, aku dapati kedamaian yang sempurna
Tetap merdu, meski lidahmu cadel melafalkan lafaz Tsa, Sin, dan Syin.
Bahkan mungkin Shad dan Ra.
Sayang, ini malam ke dua ratus enam belas dari pertemuan pertama kita
Adakah yang lebih indah dari kebersamaan ini?
Untukku, tak ada yang lebih indah dari yang kita lewati bersama
Aku tak pandai merayu, ini sesuatu yang nyata, bahwa;
Aku tak bisa lepas dari rasa rindu, itu sangat pasti.
Tapi kadang aku rindu dengan tangismu saat benar rindu memuncak
Kau benamkan wajahmu yang bulat ke dalam bantal
Lalu bibirmu yang seksi, bergetar menahan rindu
Sampai bantal basah oleh air mata
Kau bilang, saat rindu, yang sering kau ingat adalah ciuman
Memang, itu perkara yang selalu membuat jantung berdebar
Lalu mulailah desahan lembut terdengar merdu di telinga
Saat itu, dalam suasana tak terencana, kita sama sama berhenti
Lalu saling memandang dalam dalam
Tak lama dari itu, kuciumi bau tubuhmu yang khas, sangat kukenali itu
Waktu kita masih panjang, sayang...
Kemesraan akan selalu terjaga
Suatu saat nanti, kita jangan sampai lupa menaruh cinta atas nama kecintaan
Itu yang akan membuat masing masing diri kita bersahaja
Kita akan ajari anak lanang, atau mungkin si Gendis akan lahir setelah kita mengucap kalimat sakral, untuk pandai berbahasa ibu.
Waktu kita masih panjang, sayang...
Kita akan bermain dengan mereka di kamar yang penuh cinta dan kecintaan
Sudah dulu, aku sudah kehabisan kata kata. Karena kau meminta puisi ini segera kau baca.
***
Semarang-Brebes, 27/4/2018