29. Tumbuh
Lintang melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan lucu, Bayu memberinya nama Langit Bummi Pratama. Keluarga Lintang menyambut bahagia kehadiran Langit, setelah mereka kehilangan Taufan.
Badai pergi lagi di daerah pedalaman Kalimantan setelah kelahiran kemenakan barunya. Papa sudah tidak mempermasalahkan lagi dengan jalan yang ditempuhnya. Sebelum berangkat dia menemui Sekar dan mengatakan kepada gadis cantik itu untuk melupakan Taufan.
“Kamu masih muda, cantik, pintar dan mandiri. Semua yang diidamkan pria pada wanita ada padamu. “ Sekar tersipu mendengar sanjungan Badai. “Kamu tidak boleh sedih berkepanjangan dan memikirkan Taufan terus menerus. Hidupmu masih terus berlanjut. Kamu pasti akan menemukan sesorang yang jauh lebih baik dan lebih sempurna dari Taufan.” Sekar mengangguk dan tersenyum, ada ketenangan dihatinya ketika mendengar kata-kata kakak laki-laki Taufan tersebut. Satu tunas kecil tiba-tiba tumbuh didalam dadanya yang sempat gersang.
***
Tamara berdiri di pintu salonnya. Dia nampak memperhatikan jalan raya.
“Sedang menunggu seseorang Mbak?” Andah bertanya.
“Tidak. Aku hanya merasa heran. Sudah lama Taufan tidak kelihatan batang hidungnya ya? Kemana saja anak itu?”
“Mbak tidak hubungi dia lewat elepon?”
“Aku lupa minta nomor teleponnya.”
Tamara kemudian masuk dan menyuruh Andah dan Dyan untuk segera melayani pelanggan yang sudah datang.
***
Wulan mengangkat handphone milik Taufan yang berbunyi saat dia baru saja keluar dari pintu rumahnya untuk mengantarkan kerupuk-kerupuk ikan pesanan para pelanggannya.
“Hallo?”
“Hallo, ini aku. Badai, kakaknya Taufan.”
“Yah aku tahu! Tidak perlu kamu jelaskan! Aku masih ingat suaramu dan namamu tertera di layar hp!” Terdengar suara tawa lepas Badai di telephon. “Ada apa?”
“Hari ini akukembali ke Kalimantan. Maaf aku tidak bisa datang untuk pamit padamu.”
“Tidak apa-apa.”
“Ada satu yang ingin aku katakan padamu, Wulan. Maukah kamu menerimaku menjadi temanmu, seperti kamu menerima Taufan dan Baruna sebagai temanmu. Aku pasti akan kembali dan berjanji tidak akan membuat lautmu sepi lagi.”
“Tapi aku tidak mau berteman dengan laki-laki bodoh lagi!” Badai kembali tertawa. “Laut dan pantai pasti akan menyambutmu. Perlu kamu ketahui, tidak hanya di daerah terpencil, di sini pun, masih banyak anak-anak yang perlu orang-orang sepertimu!”
Wulan kemudian menutup telephonya setelah mengucapkan selamat jalan pada Badai. Gadis manis itu tersnyum lalu melangkah pergi.
***
Lukman menemui Ramadhan di sebuah café.
“Bagaimana keadaan Sofie?” tanya Lukman.
“Dia masih sangat terguncang. Sekarang dia berada di Bogor di tempat bibinya agar bisa tenang.”
Lukman menghela nafasnya. “Semuanya memang berawal dari aku! Andai saja…..”
“Tidak ada yang perlu disesali, semuanya sudah terjadi. Penyesalanmu tidak akan membuat Baruna kembali.”
“Tapi anak itu. Baruna! Darah dagingku satu-satunya! Dia tdak bersalah apa-apa!”
“Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada penyesalan yang datang diawal!” Ramadhan kemudian mengambil sebuah bungkusan berbentuk segi empat yang dibawanya dan menyerahkannya pada Lukman. “Bukalah!” Lukman menerimanya dan langsung membuka kertas pembungkusnya. Dia terpana melihatnya. “Itu Baruna! Aku memberikannya padamu. Itu adalah hasil karya temannya yang belum lama meninggal. Dia sangt mirip denganmu di lukisan itu.”
Lukman terdiam, matanya berkaca-kaca memperhatikan lukisan di tangannya.
***
Saat berada di dalam pesawat, Badai memikirkan kata-kata Wulan. “Perlu kamu ketahui, tidak hanya di daerah terpencil, di sini pun, masih banyak anak-anak yang perlu orang-orang sepertimu!”
Cuaca cerah. Pesawat pun terbang tinggi menembus awan menuju daratan Borneo.
***
30. 6 bulan Berlalu
Sore hari yang cukup cerah, setelah mengantarkan kerupuk-kerupuk pesanan para pelanggannya Wulan berjalan seorang diri di pantai, dilihatnya sekelompok anak-anak sedang bermain bola. Beberapa anak menyapanaya. Wulan tersenyum sambil melambaikan tangannya. Sesekali Wulan berhenti memikit kerang yang dilihatnya cukup menarik, diperhatikannya sesaat kemudian dilemparkannya ke arah laut. Saat itu dia melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri memandang laut lepas.
“Aku seperti mengenalnya,” benak Wulan. “Badai! Ya dia Badai!” Tiba-tiba rasa senang menggelayuti prasaanya. Wulan pun berjalan ke arah laki-laki itu.
“Sedang apa kamu disini? Bukankah seharusnya kamu sedang mengajar anak-anak di pedalaman kalimantan?” tanya Wulan setelah berjarak kurang lebih sepuluh langkah dari laki-laki itu berdiri.
Laki-laki itu, yang tidak lain adalah badai menoleh sambil tersenyum. “Aku sedang menunggumu.” Wajah Wulan memerah mendengar perkataannya, hatinya bergetar, namun dia berusaha mengendalikan perasaannya. Setelah berjarak dua langkah dari Badai, Wulan pun menghentikan langkahnya. “Aku sudah menduga kamu pasti akan datang kesini.”
“Heh! Setiap hari aku datang kesini!” tukas Wulan sambil memperhatikan ransel besar di samping Badai. “Kamu minggat?!”
Badai tertawa. “Tidak. Aku baru datang bandara dan langsung kesini.”
“Kamu pulang dari kalimantan?” tanya Wulan dengan nada heran. Baruna mengangguk. “Kenapa tidak pulang ke rumah?”
“Kenapa memangnya? Tidak boleh?”
“Bukan begitu. Aneh saja, kamu langsung ke sini. Keluargamu sudah tahu kamu pulang?” Badai menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak merindukan mereka?”
“Tentu saja aku sangat merindukan mereka.”
“Lalu, kenapa di sini?”
“Karena aku merindukanmu dan ingin bertemu dengan kamu.”
“Heh!” Wulan mencibir walaupun hatinya merasa senang.
“Sungguh aku tidak bohong. Aku selalu teringat kata-katamu.”
“Kata-kata yang mana?” Wulan mengernyitkan dahinya.
“Kata-katamu ‘Perlu kamu ketahui, tidak hanya di daerah terpencil, di sini pun, masih banyak anak-anak yang perlu orang-orang sepertimu’”. Badai tersenyum.
“Ooooh yang itu. Kamu mengingatnya?”
“Setiap saat aku mengingatnya.”
“Jadi, kata-kataku yang kamu ingat!” benak Wulan dengan rasa kecewa. “Terus kamu memutuskan untuk mengabdi di sini?”
“Yah!”
“Baguslah kalau begitu,” Wulan berkata datar.
“Mendengar nada suaramu. Sepertinya kamu tidak senang aku kembali.”
“Tidak. Aku senang!”
“Tapi wajahmu tidak mengatakan seperti itu.”
“Lalu wajahku harus bagaimana?!”
Badai tertawa. Laki-laki itu bergeser hingga berjarak satu langkah dari Wulan. “Kamu tahu Lan. Jika saja yang mengatakan hal itu bukan kamu. Aku pasti tidak akan mengingatnya.” Wulan menoleh dan memandang Badai yang nampak tersenyum. “Aku tidak bisa melupakanmu.”
Wulan tidak berkata apa-apa, perasaannya tiba-tiba merasakan tidak karuan. Dia tidak sanggup lagi memandang wajah Badai. Kemudian gadis itu berbalik dan berjalan meninggalkan laki-laki tampan itu. Seulas senyum tipis tergambar dibibirnya, hatinya merasa senang.
“Wulan! Kenapa kamu pergi? Apa kamu tidak mempersilakan aku ke rumahmu untuk sekedar minum kopi atau teh dan melepas lelah?! Badai berteriak lalu tertawa, kemudian mengambil ranselnya dan berlari mengejar Wulan.
Matari semakin dekazt ke peraduannya, warna jingga dan merah nampak begitu indah. Anak-anak yang bermain bola pun sudah membubarkan diri. Dan Laut pun kembali sunyi, hanya terdengar suara angin dan ombak yang pecah di pantai.
@@@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H