“Baguslah kalau begitu,” Wulan berkata datar.
“Mendengar nada suaramu. Sepertinya kamu tidak senang aku kembali.”
“Tidak. Aku senang!”
“Tapi wajahmu tidak mengatakan seperti itu.”
“Lalu wajahku harus bagaimana?!”
Badai tertawa. Laki-laki itu bergeser hingga berjarak satu langkah dari Wulan. “Kamu tahu Lan. Jika saja yang mengatakan hal itu bukan kamu. Aku pasti tidak akan mengingatnya.” Wulan menoleh dan memandang Badai yang nampak tersenyum. “Aku tidak bisa melupakanmu.”
Wulan tidak berkata apa-apa, perasaannya tiba-tiba merasakan tidak karuan. Dia tidak sanggup lagi memandang wajah Badai. Kemudian gadis itu berbalik dan berjalan meninggalkan laki-laki tampan itu. Seulas senyum tipis tergambar dibibirnya, hatinya merasa senang.
“Wulan! Kenapa kamu pergi? Apa kamu tidak mempersilakan aku ke rumahmu untuk sekedar minum kopi atau teh dan melepas lelah?! Badai berteriak lalu tertawa, kemudian mengambil ranselnya dan berlari mengejar Wulan.
Matari semakin dekazt ke peraduannya, warna jingga dan merah nampak begitu indah. Anak-anak yang bermain bola pun sudah membubarkan diri. Dan Laut pun kembali sunyi, hanya terdengar suara angin dan ombak yang pecah di pantai.
@@@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H