Mohon tunggu...
Eka D. Nuranggraini
Eka D. Nuranggraini Mohon Tunggu... -

membaca hidup

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Laut Kembali Sunyi (Bagian 3)

12 Mei 2016   09:23 Diperbarui: 12 Mei 2016   09:30 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Yah, memang seharusnya.” Taufan menyalakan mesin sepeda motornya.“Baiklah, aku pergi dulu. Tapi aku janji, aku pasti akan datang lagi. Selain untuk mendengar cerita kakek, aku juga ingin pergi melaut menangkap ikan!”

Baruna tertawa. “Kamu yakin?”

“Kenapa? Kamu tidak yakin kalau aku juga mampu menjadi nelayan? Kalau kamu bisa, kenapa aku tidak!” tegas Taufan. Baruna tersenyum. “Oh iya jangan lupa oleskan obat itu di kakimu yang sakit!”

“Ya. Aku tidak akan lupa!”

Taufan pun berlalu. Baruna memandangi kepergiannya.

***

            Malam hari, setelah menyelesaikan proposal skripsinya yang tertunda hampir satu tahun lebih. Taufan menghempaskan badannya di atas tempat tidur. Berbaring, matanya menatap langit-langit kamar, menghela nafas, kemudian pikirannya melayang ke pantai, perkampungan nelayan dan Baruna.”Siapa sebenarnya anak itu? Kenapa dia ada di sana? Aku yakin dia anak yang berpendidikan tinggi dan dari keluarga yang mampu! Apa dia juga sepertiku, anak yang kabur dari keluarganya?” Lalu teringat dengan Wulan, gadis manis yang galak dan kakek-nya yang juga galak namun baik hati dan suka bercerita tentang masa lalu.

Waktu pun bergulir, rasa kantuk yang menghinggapinya membuat mata Taufan dengan cepat terpejam hingga lupa mematikan lampu kamar.

***

            Baruna duduk di atas dipan kayu kamarnya yang sederhana sambil mengoleskan obat gosok pemberian Taufan di kaki kirinya yang sakit. Sesekali terdengar suara dengkur Kakek dari kamar sebelah. “Teman baru yang sangat baik.” Benaknya, bibirnya tersungging senyum tipis. Kemudian teringat perkataan Wulan, ‘melihat temanmu, seperti melihatmu pertama datang ke kampung ini enam bulan yang lalu!’. “Tapi sepertinya aku jauh lebih parah dari dia! Apa anak itu senasib denganku? Tapi sepertinya tidak! Dia masih mempunyai orang tua yang lengkap, dia harus pulang karena harus menemani mamanya yang sendirian, papanya sedang pergi keluar kota. Sedangkan aku!” Baruna menghela nafasnya lalu memegangi kakinya yang sakit karena merasakan panas, efek dari obat gosok yang dioleskannya. Suara angin laut dan ombak yang pecah di pantai terdengar bersambungan dari jendela kamar.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun