“Yah, aku akui, walaupun dia itu jutek dan galak tapi gadis manis yang cerdas dan baik!”
“Apa kamu menyukainya? Atau jangan-jangan dia itu pacarmu?! Kalian berdua kelihatan akrab dan saling mengenal satu sama lain!” Taufan memandang Baruna.
“Aku berpacaran dengan Wulan?!” Baruna tertawa. “Bisa-bisa leherku digorok sama kakeknya!” Baruna menunjuk rumah di belakangnya, di mana dia tinggal.
“Jadi! Kakek itu, kakeknya Wulan? Kamu tinggal di rumah kakeknya Wulan?!” Baruna mengangguk sambil tersenyum, kemudian menceritakan kalau kakeknya Wulan tinggal seorang diri di rumahnya, istrinya, neneknya Wulan telah meninggal lima tahun yang lalu. Sebenarnya keluarga Wulan ingin Kakek tinggal bersamanya, tetapi ditolaknya dengan alasan tidak ingin merepotkan anak dan cucunya. Segala sesuatunya Kakek masih bisa melakukannya sendiri, kecuali untuk masakan, setiap harinya ibunya Wulan mengiriminya makanan atau terkadang Kakek yang pergi ke rumah Wulan. Ayah Wulan adalah anak nomor dua dari Kakek, anak pertamanya meninggal ketika masih anak-anak, anak bungsunya, perempuan, dibawa suaminya ke Surabaya.
“Lalu, bagaimana kamu bisa tinggal dengan kakeknya Wulan?”
“Mungkin kasihan melihatku!” Baruna tersenyum hambar. “Kalau adiknya Wulan datang, dia pasti tidur di rumah Kakek!” Baruna mengalihkan pembicaraan.
“Memang adiknya Wulan kemana?”
“Dia mondok di Jawa Timur.”
“Laki-laki?”
“Yah, namanya Chandra.”
Keduanya terdiam sesaat.
“Walaupun sudah tua, Kakek masih terlihat segar dan kuat!” Taufan kembali memulai pembicaraan.