“Jadi ini rumahmu?”
“Sebenarnya ini bukan rumahku, aku hanya menumpang.” Baruna tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Menumpang? Jadi benar dugaanku, kamu bukan orang asli sini, kan?”
Baruna tertawa. “Baiklah, aku mengaku, aku memang bukan asli sini, aku hanya seorang pendatang!”
“Bagaimana dengan kakimu? Masih sakit?” Taufan memperhatikan kaki kiri Baruna.
“Lebih baik dari kemarin.”
“Aku bawakan obat untukmu!” Taufan melepas dan mengambil sebuah botol kecil dan memberikannya kepada Baruna. “Aku memintanya dari temanku, katanya mujarab untuk sakit karena terkilir.”
“Kamu tidak usah repot-repot. Nanti juga pasti akan sembuh dengan sendirinya.” “Aku hanya kasihan melihatmu berjalan terpincang-pincang dan tidak bisa melaut lagi!”
“Ternyata masih ada lagi orang yang kasihan padaku. Tapi baiklah, terima kasih!” Baruna tersenyum, lalu dia melihat buku-buku di dalam ransel Taufan ketika sedang ditutupnya. “Kuliah?”
“Skripsi tepatnya!”
“Baruna! Ada tamu kok tidak disuruh masuk!” tukas seorang laki-laki tua berumur enam puluhan, berkulit coklat dan berambut penuh uban namun masih kelihatan tegap dan kekar yang memakai celana panjang kain warna coklat dan t-shirt bermotif garis hitam merah yang muncul dari samping rumah dimana sebelumnya Baruna muncul.