Bimo menoleh dan memandang tajam sepupunya yang duduk disampingnya. Kemudian kembali perhatiannya dialihkan kedepan. “Bagaimana kalau Rani tidak menyukaimu? Atau menolakmu. Seperti waktu Ami menolak lamaranmu?” katanya kemudian.
Bagas tertawa. “Menyukai aku atau tidak, itu hak dia, Bim! Yang penting aku benar-benar dan bersungguh-sungguh menyukainya. Dan perlu kamu tahu, aku akan memperjuangkannya! Kalau urusan ditolak atau diterima, itu urusan nanti!”
“Kau menyindirku?”
“Menyindir? Siapa menyindir siapa? Aku tidak merasa menyindir siapa pun! Aku menyukainya. Aku tidak peduli jika kau juga menyukainya, itu adalah urusan dan hak kamu, Bim! Kalau memang benar kamu menyukainya, tunjukkan dan buktikan! Tapi perlu kamu ingat, aku tidak akan menyerah meskipun kamu adalah sepupuku! Pada akhirnya siapa yang Rani sukai, itu urasan nanti!” Bagas tersenyum.
“Kamu memang gila!”
“Tapi perlu kamu ingat satu lagi, Bim! Aku tidak akan memaksamu untuk membuktikan rasa suka dan cintamu itu. Tapi tunjukkan dan buktikan pada diri kamu sendiri!” Bimo terdiam.“Hidup didunia ini sudah susah, jangan dibuat susah dan repot lagi untuk urusan yang sebenarnya tidak sudah dan tidak repot!” Bagas tertawa.
Mobil yang mereka tumpangi terus melaju.
“Oh iya Bim. Ada satu lagi yang aku ingin tanyakan.”
“Apa lagi?”
“Kenapa tadi waktu berjalan di pemakaman kamu tiba-tiba berhenti?”
Bimo menghela nafasnya dalam-dalam. “Aku melihat bayangan Bayu!”