“Begitulah!”
“Jadi, beneran, kalian mau dijodohkan?”
“Aku tidak tahu! Jangan tanya aku! Aku kan cuma ngantar bapak sama ibu saja!”
Bagas tertawa. “Bimo...Bimo..kamu jangan pura-pura tidak mengerti maksud dari bapak dan ibumu itu! Pada intinya, mereka ingin menjodohkan kamu dengan bidan itu.” Bimo terdiam. “Menurut aku. Kamu tidak usah resah begitu. Kalau kamu suka bilang saja, iya! Kalau kamu tidak suka dan tidak mau dengan perjodohan itu, bilang saja, tidak! Gampang kan? Kamu itu laki-laki dewasa yang sudah bisa memutuskan nasib dan kehidupanmu sendiri.”
“Sudahlah! Aku sedang tidak mau membahas soal itu!”
Bagas kembali tertawa sambil melirik kearah Bimo yang wajahnya nampak menegang.
***
Setelah melewati sebuah jalan, Bagas akhirnya mengingat sesuatu. “Sepertinya aku pernah melewati jalan ini!” pikirnya dan mencoba mengingat-ingat. “Hei! Bukannya jalan ini yang dulu aku lalui bersama Mutiara, ketika sedang membuntuti Khaerani!” Bagas akhirnya mengingat, sambil memperhatikan jalan dari balik kaca pintu mobil.
“Ada apa Gas?” tanya Bimo ketika melihat sepupunya nampak memperhatikan jalan.
“Rasanya, aku pernah melewati jalan ini!”
“Oh yah? Kapan? Dan mau kemana?”