Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Unpopular Opinion, Ketimpangan Kaya dan Miskin Makin Lebar, Apa yang Harus Dibenahi?

17 Februari 2021   05:27 Diperbarui: 17 Februari 2021   07:21 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang tukang rongsokan beristirahat di kawasan MH Thamrin, Jakarta. (Foto: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Ketimpangan antara orang kaya dan miskin semakin melebar ditandai lewat kenaikan angka gini rasio secara tahunan dan semester. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan rasio gini pada September 2020 sebesar 0,385 atau naik dari 0,380 pada September 2019. Angka ini meningkat 0,004 poin dibandingkan Maret 2020 sebesar 0,381.

Adanya pandemi Covid-19 turut mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran masyarakat. 

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan terdapat 24 juta tenaga kerja kehilangan jam kerja akibat pandemi Covid-19, mengutip laporan Kontan.co.id, 21 Januari 2021. 

Jumlahpengangguran periode Agustus 2020 sebesar 9,77 juta orang mengalami kenaikan dari 5,23 persen menjadi 7,07 persen, mengutip Kompas.com.

Namun kembali lagi bahwa gini rasio sebenarnya mengukur ketimpangan distribusi penduduk. Penjelasan Kepala BPS Suhariyanto GR = 1 menunjukkan ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan sempurna. Sebaliknya, GR = 0 menunjukkan setiap orang menerima pendapatan yang sama.

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy menilai, kebanyakan kelompok miskin pendapatannya menurun lebih jauh daripada kelompok kaya. Sedangkan kelompok kaya sekalipun turun, tidak dalam, mengutip Kontan.co.id.

Pemerintah mesti turun tangan. Dalam jangka pendek, penyaluran bansos dapat menopang pendapatan masyarakat menengah ke bawah. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja luas. 

Yusuf mengatakan, industri manufaktur dapat menyerap banyak tenaga kerja yang menandakan perlunya perhatian untuk menopang industri manufaktur.

Apa yang harus dilakukan?

Pengeluaran bottom 40 atau 40 persen ekonomi terbawah adalah 17,93 persen atau berarti ketimpangan rendah. Catatan Kontan.co.id, Bank dunia membagi tingkat ketimpangan menjadi tiga kategori, antara lain:

- ketimpangan tinggi bila persentase pengeluaran kelompok 40 persen terbawah di bawah 12 persen

- ketimpangan sedang bila persentase pengeluaran kelompok 40 persen terbawah di kisaran 12-17 persen

- ketimpangan rendah bila persentase pengeluaran kelompok 40 persen terbawah di atas 17 persen.

Menanggapi ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam keterangan tertulis mengatakan pemerintah berhasil menahan angka kemiskinan untuk tidak jatuh lebih dalam lagi, melansir Kontan.co.id.

Mengikuti simulasi Bank Dunia, tanpa perlindungan sosial, angka kemiskinan Indonesia diperkirakan bisa mencapai 11,8 persen. 

Febrio mengatakan program PEN sepanjang 2020 mampu menyelamatkan lebih dari 5 juta orang menjadi miskin baru.

Menghindari angka kemiskinan jauh lebih dalam adalah keberhasilan, tetapi itu tidak menyelamatkan kemungkinan kenaikan angka ketimpangan ke depannya. 

Seperti yang diungkapkan Yusuf Rendy, kebijakan jangka panjang untuk mendorong penciptaan lapangan kerja lebih dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan.

Kebijakan tersebut harus menyentuh upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia supaya terserap ke industri. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2020 sebesar 71,94, tumbuh 0,03 persen namun pertumbuhannya melambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Apa yang mesti dilakukan? Upaya jangka panjang mengharuskan imajinasi maju jauh ke depan. Kuncinya produktivitas. Produktivitas akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Jika melihat lebih luas, saya memiliki tiga persoalan yang mesti dipikirkan.

Pertama, indikasi adanya persaingan tidak sehat pada perusahaan teknologi digital raksasa

Kedua, upaya untuk meningkatkan daya saing SDM Indonesia

Ketiga, penguatan RnD

Pendidikan menuju transformasi digital

Tidak dapat dihindari, adanya pandemi Covid-19 berdampak pada kualitas SDM Indonesia yang menjalani pembelajaran dan perkuliahan jarak jauh. 

Menjadi pertanyaan, sejauh mana keberhasilan program kartu pra kerja untuk memberdayakan angkatan kerja "melek" terhadap teknologi digital.

Apakah desain pendidikan kita sudah dirancang untuk membantu Indonesia bergerak ke arah transformasi digital? Atau ini hanya mengakomodir kelompok-kelompok tertentu?

Akses untuk mendapatkan pendidikan selalu terhalang besarnya biaya. Kondisi ini tidak terlalu menyulitkan kepada kelompok kaya dan menengah ke atas. 

Mereka dapat menikmati akses pengetahuan dan pengalaman berjejaring di perguruan tinggi favorit. Mereka tidak kesulitan untuk mendapatkan akses pembelajaran yang merupakan modal penting bagi pekerjaan di masa depan. 

Sementara kelompok penduduk miskin dalam kondisi terjepit akan selalu dalam posisi tidak menguntungkan. Mau membeli peralatan sekolah pun masih perlu menghitung ulang. 

Dalam keadaan terdesak, anak terpaksa putus sekolah demi membantu orangtuanya bekerja mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Apakah ini kesalahan yang harus diterima orang miskin? Tentu tidak. Di sini, intervensi pemerintah harus kuat untuk menyediakan akses pendidikan yang terjangkau hingga menyediakan fasilitas pendukung yang merata ke seluruh wilayah Indonesia. 

Itu pandangan klasik. Adanya pandemi Covid-19 mengharuskan nalar mampu menerawang dan memberikan gagasan, terlebih negara maju seperti AS di bawah Presiden Biden mulai memperhatikan nasib pekerja mereka di sana.      

Persaingan tidak sehat

Persoalannya ketimpangan pendapatan ini tentu harus dilihat lebih dalam sampai menyentuh akar, apa yang sebenarnya terjadi? Kita mungkin terlalu lelah melawan disrupsi yang tidak terdefinisikan dengan mencoba beradaptasi sekeras mungkin.

Semakin mantap kita beradaptasi, semakin tinggi pula ketimpangan yang terjadi pada sektor-sektor konvensional. 

Kecenderungan itulah yang akhirnya membuat Facebook, Google, Amazon dkk dalam beberapa waktu belakangan menuai sorotan karena cenderung mengarah pada upaya monopoli.

Mereka secara kolektif menguasai besar pasar dan kepemilikan data. Pembagian porsi iklan menjadi tidak merata yang membuat media harus gulung tikar, mereka juga mengharuskan shifting besar pada sektor ritel. 

Kemajuan teknologi digital mendisrupsi sampai ke sektor transportasi, komunikasi, keuangan, dan perdagangan, bahkan dalam hal politik dan keamanan sekalipun. Karena itu, mereka makin komplit untuk disebut negara tidak berwujud.

Sementara dalam masa transisi sektor-sektor yang disebutkan di atas ternyata terpukul pula karena pandemi Covid-19. Mereka adalah sektor yang memberikan upah kepada tenaga kerja dan membayar pajak. 

Sebaliknya, dalam masa pandemi akibat pemberlakuan pembatasan, kita secara tidak langsung menciptakan pasar seluas-luasnya kepada perusahaan teknologi digital.

Bagi sebagian orang, mereka menganggap persaingan ini adalah hal wajar yang mau tidak mau mereka mesti terdorong untuk "mensubsidi" lebih banyak lagi dalam membesarkan ekosistem perusahaan teknologi digital tersebut.

Ketimpangan inilah yang sebenarnya akan sangat memukul kelompok masyarakat miskin dan kelas menengah rentan jatuh ke bawah yang selama ini bekerja pada sektor konvensional.

Sebagaimana terjadi ketika hendak mengajukan tindakan perlindungan, perusahaan tersebut harus membuktikan bahwa dirinya sudah berdarah-darah, sekarat akibat persaingan tidak sehat. Tidak ada inovasi yang keluar dari badan yang sakit selain memikirkan untuk dapat survive.

Pendekatan mesti digeser. Tanpa harus menunggu tubuh sekarat, sebaliknya mengupayakan kelompok raksasa itu mesti berbagi pendapatan bersama untuk menciptakan iklim usaha yang adil, inovatif dan berkelanjutan.

Pengembangan RnD

Upaya untuk memperhatikan persaingan tidak sehat tidak berarti membatasi persaingan. Pasar harus terbuka lebar untuk inklusivitas dengan demikian akan mendorong inovasi. 

Selagi disrupsi itu semakin nyata, penguatan Research and Development (RnD) adalah salah satu dorongan yang perlu dimajukan dalam masa pandemi Covid-19.

Ini berhubungan pula dari refleksi pandemi Covid-19 betapa mahalnya harga untuk memulihkan kesehatan tanpa dukungan dari penemuan, inovasi dan pengetahuan.

Ekosistem inilah ke depannya menjadi penggerak yang mendorong perbaikan pada barang dan jasa.

Pemerintah telah menyiapkan pelbagai program untuk memulihkan ekonomi usai pandemi Covid-19. Tulisan ini setidaknya dicuatkan dari pergumulan ide yang mengharapkan angka ketimpangan di Indonesia dapat mengecil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun