Toni, kekasihnya tidak lagi mencintainya, membiarkan kepergian dirinya tanpa jawaban melalui cara yang mudah ditebak dari seorang lelaki pengecut. Ia selingkuh.
Selama menyepi, hati Marta terbelah. Relung tangisnya adalah jalan untuk menenangkan diri. Sesekali menghibur diri dan tertawa menonton tayangan komedi, tetapi itu semua tidak sanggup melucuti sakit hatinya.Â
Tiga hari kemudian, ia menyadari perpisahan dengan Toni memang bukan keinginan hati, tetapi sekali lagi, batin dari hati kecilnya secara bersamaan memberontak, menolak untuk mengingat masa-masa indah untuk mendamaikan keduanya.
Jalan sekarang terasa indah dari memikirkan untuk merajut masa lalu. Ia harus melupakan Toni, selamanya.
Tetapi, di batas penolakan itu, ia menyadari juga sebuah kesempatan untuk membuka hati yang baru. Tidak ada kesedihan abadi. Marta tidak tahu mengapa semua harus dia pikirkan.
Sejak itu, ia meminta pendapat Damian dan meyakinkan dirinya untuk bisa menolong dirinya. Masa kecil telah mengajarkan mereka menghadapi cobaan bersama-sama, pengalaman-pengalaman konyol dan bertahun-tahun tetap mengikat rasa persahabatan di antara mereka.
Damian mengambil tempat di sebelahnya biarpun Marta memberi kesan bahwa ia sudah terlihat lebih baik.
"Kau sudah menangis sangat lama, apa lagi yang menjadi pikiranmu?" kata Damian.
Damian menerima pesan dari Marta pada sore hari ketika dia sedang berkencan bersama kekasihnya. Damian tidak bisa melupakan Marta, semata-mata karena ia sahabatnya.
Dalam beberapa pertemuan keduanya, Damian berusaha menghibur, tetapi hati dan perasaan Marta terasa seperti tidak akan menemukan ujung kesedihannya.
"Masih ada waktu, pergilah. Aku bisa sendiri," ucap Marta.