Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Menulis Untuk Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Pentingnya Pencegahan Dini Banjir Bandang di Sulteng

21 September 2022   12:37 Diperbarui: 22 September 2022   14:15 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Banjir Bandang Desa Torue, Kabupaten Parigi Moutong ,Minggu (14/8)| Dok Mansur K103-15 via Kompas.com

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) baru baru ini mengeluarkan peringatan terhadap potensi hujan lebat di sejumlah Provinsi di Indonesia. Bukan itu saja BMKG juga memperingatkan dua provinsi masuk dalam kategori siaga dampak hujan lebat berupa banjir. Yakni Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah (Sulteng).

Peringatan BMKG tersebut perlu untuk direspon oleh pihak pemerintah daerah. Karena diketahui dampak perubahan iklim ekstrim diikuti terjadinya curah hujan yang tinggi, telah menyebabkan sejumlah wilayah di Provinsi Sulteng terdampak bencana banjir bandang.

Di mana banjir bandang tersebut menyebabkan jatuhnya korban jiwa, merusak rumah penduduk, serta lahan sawah dan kebun masyarakat. Selain itu turut merusak fasilitas umum seperti jalan dan jembatan yang dilintasi pengendara.

Bulan Juli 2022 lalu banjir bandang melanda Desa Torue di Kabupaten Parigi Moutong merenggut korban jiwa dan kerugian material penduduk. 

Dampak banjir bandang pada pemukiman penduduk di Desa Torue Kabupaten Parigi Moutong beberapa waktu lalu.| Dokumentasi pribadi
Dampak banjir bandang pada pemukiman penduduk di Desa Torue Kabupaten Parigi Moutong beberapa waktu lalu.| Dokumentasi pribadi

Pada awal bulan September ini banjir bandang terjadi di Desa Pakuli Kabupaten Sigi, menyebabkan rusaknya Jembatan Gumbasa dan tidak bisa dilintasi pengendara pada ruas Palu-Kulawi.

Berbagai masalah ditenggarai menjadi penyebab banjir bandang yang berdampak kerusakan pemukiman penduduk, lahan usaha serta fasilitas umum. Kerugian besar tentu saja dirasakan masyarakat pasca terjadinya banjir bandang tersebut.

Berbagai masalah tersebut diantaranya. Pertama, maraknya praktik penebangan liar atau ilegal logging. Aktivitas ilegal logging ini sudah menjadi problem krusial yang turut menyebabkan terjadinya banjir bandang. Namun mirisnya, hingga kini praktek ilegal logging masih saja terjadi di wilayah hulu sungai yang menjadi zona tangkapan air.

Kedua, adanya praktik penambangan liar. Aktivitas ini ditenggarai turut menyebabkan terjadinya banjir bandang akibat kerusakan lingkungan di sekitar areal penambangan. Di mana aktivitas penambangan liar dilakukan secara terbuka dan berpotensi terhadap kerusakan lingkungan seperti erosi.

Banjir turut merendam rumah penduduk dan lahan sawah milik masyarakat.| Dokumentasi pribadi
Banjir turut merendam rumah penduduk dan lahan sawah milik masyarakat.| Dokumentasi pribadi

Salah satu contoh aktivitas penambangan liar yang terjadi di Kawasan Dongi-dongi yang berada dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Kabupaten Poso, menyebabkan degradasi lingkungan dan merusak keberadaan endemi di kawasan tersebut. 

Ketiga, terjadinya sedimentasi (pendangkalan) sungai akibat endapan material. Ini salah satu problem krusial yang turut menjadi penyebab banjir bandang. 

Dari sejumlah bencana yang ada, banjir terjadi karena air meluap dari bantaran sungai dan membuat aliran sungai baru. Hal ini terjadi karena adanya sedimentasi sungai dan tidak pernah dilakukan penanganan atau pemeliharaan. 

Banjir bandang yang terjadi di Desa Torue misalnya, karena luapan air dengan debit yang tinggi, sehingga menerjang pemukiman penduduk. Ini terjadi karena adanya sedimentasi sungai, mengakibatkan air sungai meluap dari bantaran sungai dan membuat aliran baru. 

Demikian pula banjir bandang yang terjadi di Desa Pakuli, karena air meluap dari bantaran sungai Gumbasa dan menerjang oprit jembatan, sehingga terputus.

Pengendalian Daya Rusak Air

Seperti diketahui banjir bandang dengan menyertakan debit air yang tinggi, memiliki daya rusak air yang sangat besar. Bukan hanya bisa membawa gelondongan kayu tebangan, namun juga membawa serta batu berukuran besar dari hulu sungai hingga ke pemukiman penduduk.

Bisa dibayangkan jika tiga problem di atas tidak ditangani secara terpadu, komprehensif dan serius, maka dipastikan banjir bandang akan terus menjadi bencana jika terjadi hujan lebat. 

Pada akhirnya pemukiman penduduk, lahan usaha dan fasilitas umum yang menjadi korban. Bahkan mengancam keselamatan jiwa masyarakat.

Dalam Pasal 35 ayat 1 Undang-undang (UU) no 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, sebenarnya telah mengamanatkan untuk pengendalian daya rusak air yang dilakukan secara menyeluruh. Di mana mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.

Dampak dari daya rusak air akibat banjir bandang membawa serta potongan kayu tebangan.| Dokumentasi pribadi
Dampak dari daya rusak air akibat banjir bandang membawa serta potongan kayu tebangan.| Dokumentasi pribadi

Selanjutnya dalam ayat 2 menyebutkan pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diutamakan pada upaya pencegahan. Yakni melalui perencanaan pengendalian daya rusak air yang disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan sumber daya air.

Adapun dalam ayat 3 menyebutkan, pencegahan daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ditujukan untuk mencegah terjadinya bencana yang diakibatkan oleh daya rusak air.

Berdasarkan amanat UU no 17 tahun 2019 ini serta belajar dari pengalaman banjir bandang yang terjadi di berbagai wilayah di Sulteng, maka upaya pengendalian dan pencegahan daya rusak air menjadi hal yang urgen. Dimana dibutuhkan perencanaan pengendalian secara terpadu melibatkan lintas Stakeholder.

Pengendalian pertama tentu saja adalah mencegah praktik ilegal logging di hulu sungai yang menjadi zona tangkapan air. Pihak stakeholder kehutanan di berbagai tingkatan tentu sudah punya data, wilayah hutan mana saja yang selama ini menjadi kawasan ilegal logging dan berpotensi banjir saat hujan lebat.

Selain pencegahan, maka upaya reboisasi atau penghijauan kembali hutan yang gundul terus dilakukan agar mengembalikan keberadaan hutan sebagai zona tangkapan air. 

Selama kawasan tersebut tidak tertangani serius, maka setiap hujan deras terjadi, dipastikan dari bagian hulu akan menyertakan luapan air dengan debit dan daya rusak air yang besar. 

Selanjutnya mencegah terjadinya penambangan liar yang merusak lingkungan. Disinilah peran stakeholder terkait yakni Dinas ESDM, Kehutanan, dan Aparat Hukum untuk terus membina dan menindak pelaku penambangan liar yang beraktivitas tidak sesuai aturan. Upaya untuk menutup lokasi penambangan liar juga sudah pernah dilakukan, namun masih ada saja oknum yang melakukan aktivitas tersebut.

Sebenarnya Undang-undang no 3 tahun 2020 perubahan atas UU no 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat menambang secara legal dengan memperhatikan kearifan lingkungan berupa izin Pertambangan Rakyat (IPR). Namun masyarakat lebih memilih jalan pintas dengan melakukan penambangan liar.

Namun terkait upaya pengendalian sebagai upaya pencegahan dini terjadinya banjir bandang, dalam UU no 17 tahun 2019 Pasal 36 telah mengamanatkan agar setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air.

Karena apapun namanya, praktik penembangan hutan dan penambangan liar di kawasan hutan berpotensi merusak lingkungan dan mengakibatkan terjadinya daya rusak air saat hujan deras. Serta berdampak pada terganggunya kondisi tata air daerah aliran sungai serta mengakibatkan kerusakan sumber air dan prasarananya.

Normalisasi Sedimentasi Sungai

Rehabilitasi atau normalisasi terhadap sedimentasi sungai akibat endapan material, merupakan langkah urgen yang harus dilakukan guna pengendalian terjadinya banjir bandang, serta meminimalisir daya rusak air akibat hujan lebat.

Normalisasi dilakukan oleh pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi sesuai keberadaan sungai yang menjadi kewenangannya. 

Kompensasinya adalah pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi harus mengalokasikan anggaran untuk pemeliharaan berkala sedimentasi sungai tersebut.

Curah hujan yang tinggi di wilayah hulu dapat membuat debit air sungai meluap.| Dokumentasi pribadi
Curah hujan yang tinggi di wilayah hulu dapat membuat debit air sungai meluap.| Dokumentasi pribadi

Selama ini keterbatasan APBD menjadi ganjalan dalam mengalokasikan anggaran maksimal, terhadap pemeliharaan dan normalisasi sungai di daerah. 

Bukan itu saja bahkan saat bencana banjir bandang terjadi, pemerintah kabupaten harus dibantu oleh provinsi untuk memulihkan sungai yang terdampak, baik lewat dukungan peralatan maupun anggaran.

Demikian pula pemerintah pusat lewat Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) Kementerian PUPR turut terlibat dalam penanggulangan darurat banjir bandang, meski sungai tersebut tidak masuk dalam kewenangan pengelolaan BWSS.

Maka belajar dari pengalaman, alangkah baiknya jika normalisasi sungai dilakukan jangan setelah terjadinya banjir bandang. Karena sama saja menunggu masalah muncul dan jatuh korban terlebih dahulu, baru bertindak melakukan penanggulangan.

Harus diakui dalam kewenangan pengelolaan sungai, pihak pemerintah pusat lewat BWSS tidak serta merta dapat mengelola sungai yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten atau provinsi. Terkecuali jika pemerintah kabupaten dalam hal ini Bupati meminta untuk pengelolaan sungai dilakukan oleh BWSS.

Karena itu menjadi pertanyaan, sejauh mana pemerintah kabupaten yang daerahnya menjadi langganan banjir bandang, menjadikan normalisasi sedimentasi sungai sebagai skala prioritas sejauh mana pemkab telah mengidentifikasi sungai yang masuk kategori rawan dan membuat alokasi anggaran demi meminimalisir datangnya bencana. 

Jika hitung-hitungan untuk normalisasi sungai berupa pengerukan sedimentasi serta menata bantaran sungai membutuhkan anggaran sebesar Rp 200 juta, maka untuk 50 sungai dalam satu tahun dibutuhkan anggaran sebesar Rp 10 miliar. Dan untuk 100 sungai membutuhkan anggaran Rp 20 miliar lewat APBD.

Itu baru ditingkat kabupaten. Jika hal yang sama dilakukan oleh pemerintah provinsi untuk sungai yang menjadi kewenangannya, maka bertambah banyak sungai yang dinormalisasi. 

Tentu skema anggaran bukan saja lewat APBD tapi juga bisa lewat APBN melalui skema DAK fisik. Tinggal sejauh mana pemerintah daerah bisa mendapatkan alokasi anggaran tersebut dari pusat.

Pentingnya Koordinasi Lintas Stakeholder

Dalam upaya pencegahan dini bencana banjir bandang, maka diperlukan kesamaan paradigma diantara stakeholder terkait lintas kewenangan dan sektoral. 

Bahwa pencegahan tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab bersama seluruh stakeholder terkait baik vertikal maupun horizontal.

Ego sektoral maupun kewenangan, harus dihilangkan demi kepentingan keselamatan masyarakat yang sewaktu-waktu terancam datangnya bencana banjir bandang. Keselamatan masyarakat dan kepentingan umum harus berada di atas kepentingan dan ego sektoral dari setiap stakeholder terkait.

Sudah seringnya terjadi banjir bandang di wilayah Provinsi Sulteng, menjadi warning agar migitasi bencana harus lebih dimaksimalkan. Ini disebutkan dengan jelas dalam UU no 17 tahun 2019 pasal 35 ayat 4, bahwa penanggulangan daya rusak air ditujukan untuk meringankan penderitaan akibat bencana melalui mitigasi bencana.

Maka dari itu, upaya pencegahan dan pengendalian sebagai bagian dari migitasi bencana memerlukan kerja sama dan koordinasi yang baik. 

Setiap bencana banjir bandang yang pernah terjadi harusnya menjadi bahan evaluasi bagi stakeholder yang telah diberikan mandat dan kewenangan untuk melaksanakan tugas migitasi tersebut.

UU No 17 tahun 2019 sendiri telah mengamanatkan bahwa dalam keadaan yang membahayakan, maka Gubernur, Bupati atau Wali Kota berwenang mengambil tindakan darurat guna keperluan penanggulangan daya rusak air. Adapun upaya pemulihan daya rusak air dilakukan melalui kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi.

Juga disebutkan dalam pasal 57, jika terdapat kepentingan mendesak dalam pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, lintas kabupaten atau kota, dan strategis nasional, pendanaan pengelolaannya dilakukan melalui kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah yang bersangkutan.

Jika regulasinya sudah ada, maka harusnya kebijakan dari pemerintah dan stakeholder lintas kewenangan, harusnya mengikuti regulasi (aturan) tersebut. Bukan sebaliknya regulasi yang mengikuti kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau stakeholder terkait. Apalagi regulasi tersebut mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk menjaga keselamatan dan meringankan penderitaan masyarakat.

Namun tanpa harus menanti datangnya kondisi darurat, sebaiknya upaya pengendalian bencana banjir bandang terprogramkan secara komprehensif, lewat alokasi anggaran dan kegiatan lintas Pemerintah dan Stakeholder. 

Jika semuanya terprogram dan terkoordinasi baik, maka warning dari BMKG terkait siaga dampak bencana banjir akibat hujan deras di wilayah Sulteng, bisa dicegah dan diminimalisir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun