Saya bingung. Tidak tahu harus berbuat apa untuk mengurungkan niat gadis itu meninggalkan Makassar. Tapi, sepenuhnya saya sadari kalau gadis blaster itu punya problematik kejiwaan yang sangat kronis.
Kadang-kadang saya tidak habis pikir, bagaimana seorang gadis kaya dapat melakukan hal yang sangat kontras dan ironis. Mencuri. Ngutil! Bah, tidak masuk akal! Padahal, apa sih yang kurang pada kebendaannya?! Dia punya segala-galanya. Uang sakunya, wow, jangan ditanya. Melebihi gaji sebulan pesuruh kantoran.
Namun ajaibnya, dia pengutil. Tentu saja perbuatannya itu bikin malu orang tuanya. Sudah kejadian empat kali ayahnya dipanggil ke kantor swalayan yang barangnya kecolongan itu.
Dan....
"Win...."
Saya tergeragap. Rupanya saya melamun tanpa menyadari kalau saat ini dr Andi Riani Rustam tengah berhadapan dengan saya.
"Melamunkan siapa, sih?" Kakak perempuan Andi Riana Rustam, teman sekelas saya, itu menggoda.
"Ti-tidak, Kak. Saya tidak melamunkan siapa-siapa, kok," elak saya berdusta. Saya panggil dia 'Kak'. Bukan 'Dok'. Kami sudah akrab layaknya kakak-adik. Makanya saya ceritakan semua perihal Tatyana Romanov kepadanya.
"Si Tatyana bagaimana?"
Mata saya membola. Menyambut antusias pertanyaannya. Ini tujuan saya ke rumah Riana. Saya pernah menceritakan perihal Tatyana kepada Kak Riani. Saya pernah menceritakan perihal Tatyana kepadanya. Tentang problematik kejiwaannya yang sangat ganjil di pengertian saya.
"Dia bersikeras ingin kembali ke Praha, Kak," ujar saya pelan. "Katanya, dia sudah tidak dianggap di sini."